Minggu, 21 Juli 2013

Lanjutan "orang minang keturunan yahudi"...not try to prove it..artikel ini menarik..itu saja

Apakah kebudayaan Minangkabau dipengaruhi peradaban dari daratan Cina?

Source:http://aswilnazir.com/2012/08/15/benarkah-kebudayaan-minangkabau-berasal-dari-daratan-cina/
 
Pendahuluan
Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (yang maksudnya adalah sama dengan orang Minang itu sendiri).
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.
Jadi suku Minang memiliki perbedaan dengan suku-suku lainnya di Indonesia dalam hal pemahaman garis keturunannya. Minangkabau menganut paham Stelsel serba-ibu (matriachaat-stelsel) sebagai landasan susunan masyarakatnya yang berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu, sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakatnya dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Menurut literatur, paham matrilineal ini dianut oleh suku Indian, Apache Barat, suku Navajo, sebagian besar suku Pueblo, suku Crow yang kesemuanya adalah penduduk asli Amerika Serikat, suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut, suku Nakhi di wilayah Sechuan dan Yunnan, Cina, dan beberapa suku kecil di kepulauan Asia Pasifik. Di Indonesia satu-satunya penganut adat matrilineal adalah suku Minangkabau, Sumatera Barat.
Belum lama ini saya membaca literatur yang menyebutkan bahwa daerah otonomi Guangxi Zhuang, Cina ribuan tahun yang lalu juga menganut paham matrilineal. Suku Zhuang ini menjadi perhatian saya karena budaya masyarakatnya terlihat memiliki sejumlah persamaan dengan masyarakat di Minangkabau.
Namun sebelum kita mengulasnya lebih jauh, mari kita lihat sekilas apa pendapat ahli sejarah seputar asal-usul masyarakat Minangkabau (bahasan yang lebih detil dapat dibaca di blog saya, http://aswilnazir.com/2012/08/08/menyoal-asal-nenek-moyang-penduduk-minangkabau).

Asal-usul Suku Minangkabau menurut ahli Sejarah
Pada ekskavasi arkeologis yang dilakukan di situs megalitik Ronah, Bawah Parit, Belubus berhasil ditemukan rangka manusia dari penggalian menhir di lokasi tersebut. Jenis rangka manusia tersebut dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid (Boedisampurno 1991: 41), yang mengandung unsur Austromelanesoid yang diperkirakan hidup 2000-3000 tahun lalu (Aziz 1999). Menurut Kern dan Heine Geldern, seperti yang dikutip Soekmono (1973), migrasi ras Mongoloid dari daratan Asia ke Nusantara telah berlangsung dalam dua gelombang besar. Gelombang pertama mulai pada masa neolitikum yang membawa budaya kapak bersegi terjadi sekitar 2000 SM yang oleh para ahli digolongkan sebagai kelompok Melayu Tua (Proto Melayu), sementara itu gelombang kedua muncul pada zaman logam yang membawa kebudayaan Dongson yang dimulai 500 SM, digolongkan sebagai kelompok Melayu Muda (Deutro Melayu). Soekmono mengatakan bahwa pada zaman logam ini disamping kebudayaan logam, juga dibawa kebudayaan megalitik (kebudayaan yang menghasilkan bangunan dari batu-batu besar) sebagai cabang kebudayaan Dongson (Soekmono 1973).
(Dongson adalah nama tempat di selatan Hanoi yang dianggap sebagai asal kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Konon kebudayaan Dongson ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hallstatt, Austria).
Tampaknya kebudayaan ini dikembangkan oleh ras Mongoloid yang berpangkalan di Indo China dan berkembang dengan pesatnya di zaman Megalitikum dan zaman Hindu. Nenek moyang orang Minangkabau itu datang dari daratan Indo China terus mengarungi Lautan Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian memudiki Sungai Kampar, Siak dan Indragiri. Sebagian diantaranya mengembangkan kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten Limapuluh Kota sekarang. Dengan ditemukannya rangka manusia tersebut telah memperkuat teori bahwa telah terjadi migrasi ras Melayu Purba (yang berbahasa Austronesia) ke Sumatera, terutama Sumatera bagian Tengah.
Berdasarkan pendapat diatas, barangkali kita sepakat bahwa nenek moyang bangsa Minangkabau berasal dari daratan Asia, yang telah datang ke wilayah ini mulai sejak zaman pra-sejarah dapat digolongkan ke dalam Melayu Muda (Deutro Melayu).

Apakah benar leluhur suku Minangkabau berasal dari Cina?
Pertanyaan diatas sebenarnya sudah cukup lama tersimpan dalam hati saya, namun belum juga terjawab hingga detik ini. Sejumlah literatur dan diskusi di forum-forum elektronik yang mengulas soal sejarah dan asal-usul leluhur orang Minangkabau rata-rata hanya berujung kepada debat kusir tanpa kesimpulan yang meyakinkan.
Dalam kenyataannya dewasa ini, adat dan budaya suku Minangkabau banyak persamaannya dengan Cina, terutama dengan suku Zhuang dari Yunnan, yang juga terkenal sebagai suku tanduk kerbau. Beberapa pakaian mereka mirip dengan orang Minang, begitu juga paham garis keturunannya yang matrilinial.
Ketika saya berkunjung ke kota Guilin dan Yangshuo yang terletak di timur laut kawasan Guangxi Zhuang beberapa waktu yang lalu, memang ditemui sejumlah persamaan budaya antara Minangkabau dan Cina. Dalam perjalanan menuju desa Longji PingAn yeng terkenal sebagai “rice terraces”, kami melewati Sangjiang County yang masyarakatnya menghormati kerbau.  Malah di halaman sebuah shopping mall di kota tersebut kami melihat patung dua kerbau yang berhadapan dengan posisi saling menanduk. Saya pikir, agak mirip dengan masyarakat Minangkabau jaman dulu yang menggunakan kerbau sebagai simbol masyarakatnya.
Patung kerbau yang saling menanduk ini ditemui di Sangjiang County, Cina. Masyarakat Zhuang disini masih menganut kepercayaan yang menghormati kerbau.
Di desa Longji kami cukup surprise ketika melihat betapa penduduk setempat menggunakan tabung bambu untuk memasak (persisnya membakar) nasi lemak dengan dicampur daging. Pola memasak dengan menggunakan tabung bambu ini sangat mirip dengan cara pembuatan lemang (dari beras ketan) yang terkenal sebagai makanan khas Minang yang biasanya dicampur dengan tapai.
Dalam hal berpakaian, ditemui beberapa kemiripan seperti tutup kepala wanita yang di Minang disebut dengan tikuluak, memiliki persamaan dengan tutup kepala di beberapa suku di Cina dan sunting di kepala pengantin wanitanya. Demikian pula dengan pakaian adat pria pria suku Zhuang (dan juga suku minoritas Dong) yang berwarna hitam terlihat mirip dengan pakaian adat pria Minang (misalnya pakaian pemain randai – semacam pencak silat khas Minang).
Rumah-rumah tradisional suku Dong dan Yao di sekitar Dong Village dan Longji yang kami temui merupakan rumah panggung (memiliki ruang kosong di bawah lantai dasar) sebagaimana halnya rumah gadang di Minangkabau. Bedanya, atap rumah di Cina tidak berbentuk tanduk kerbau seperti yang kita lihat pada rumah adat Minangkabau.
Dalam hal bercocok tanam pun terlihat adanya kesamaan. Para petani yang kami lihat di sepanjang perjalanan membajak sawah dengan bantuan kerbau, persis seperti yang dilakukan para petani di Minang.




Teori Oppenheimer: Sundaland adalah pusat peradaban di penghujung Zaman Es.
Saya nyaris mengambil kesimpulan bahwa mungkin benar kalau dikatakan nenek moyang suku bangsa Minangkabau berasal dari Cina (yang oleh ahli sejarah disebut dengan kebudayaan Dongson). Tetapi dengan munculnya teori kontroversial dari Oppenheimer, saya jadi berpikir ulang.
Dalam bukunya Eden in The East, Professor Stephen Oppenheimer, seorang peneliti dan pakar genetika dari Universitas Oxford di Inggris mengisahkan bahwa Indonesia dan sekitarnya pernah menjadi benua dan tempat peradaban manusia di penghujung Zaman Es. Benua ini disebutnya dengan istilah Sundaland. Dalam buku tersebut, Oppenheimer seolah memutar balik sejarah dunia. Bila selama ini sejarah mencatat bahwa induk peradaban manusia modern itu berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia, maka Oppenheimer punya tesis sendiri.
Buku Eden in the East merupakan hasil penelitian Oppenheimer selama bertahun-tahun yang dilakukannya di berbagai negara. Benua Sundaland yang disebut oleh Oppenheimer tentu saja tidak bisa dibayangkan seperti bentuk wilayah ASEAN saat ini yang terdiri dari Indonesia, Semenanjung Malaysia dan Laut China Selatan. Wilayah ini dulunya masih menjadi satu, yaitu Sundaland. Sebagian arkeolog percaya pada bukti-bukti yang dikemukakan Oppenheimer, sementara sejumlah arkeolog yang tetap yakin bahwa orang Indonesia berasal dari Taiwan.
Tapi belakangan ini sejumlah arkeolog juga menunjukkan bukti betapa keterampilan lokal, seperti berlayar dan menangkap ikan, telah ada sepuluh ribu tahun lalu, dan bercocok tanam di Indonesia sudah ada lebih dari empat ribu tahun lalu.
Sejenak kita tinggalkan Oppenheimer dan menyimak temuan perihal permainan layang-layang yang selama ini disebut berasal dari Cina.
Ternyata permainan layang-layang (kaghati) oleh nenek moyang masyarakat pulau Muna, Sulawesi Tenggara telah dilakukan sejak 4 ribu tahun lalu. Hal ini berdasarkan penelitian Wolfgong Bick tahun 1997 di Muna. Wolfgong Bick berasal dari Jerman dan merupakan salah seorang Counsultant of Kite Aerial Photography Scientific Use of Kite Aerial Photography. Awal penelitiannya dilatarbelakangi saat Festival Layang-Layang Dunia di Prancis tahun 1997. Saat itu layangan Kaghati Kolope dari Indonesia tampil sebagai juara mengalahkan Jerman. Hal ini membuatnya berkeinginan menelusuri keunikan Kaghati Kolope dan mengantarkannya ke Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Tepatnya di Gua Sugi Patani, Desa Liang kobori sekitar 8 km dari Raha, ibu kota Pulau Muna. Gua ini berada di sebuah bukit setinggi 80 meter dengan kemiringan 90 derajat.
Dalam penelitiannya Wolfgong Bick melihat sendiri lukisan tangan manusia yang menggambarkan layang-layang di dalam Gua Sugi Patani, Desa Liangkobori. Di situs prasejarah tersebut tergambar seseorang sedang bermain layang-layang di dinding batunya dengan menggunakan tinta warna merah dari oker (campuran tanah liat dengan getah pohon). Gambar itu sudah dicoba untuk dihapus tetapi tidak bisa.
Penemuan lukisan di Gua Sugi Patani dikatakan Wolfgong Bick telah mematahkan klaim bahwa layangan pertama berasal dari China pada 2.400 tahun lalu. Layangan yang ditemukan di China menggunakan bahan kain parasut dan batang almunium. Sementara layangan dari Pulau Muna terbuat dari bahan alam dan telah menjadi bagian kehidupan masyarakatnya. Bick meyakini, layangan pertama di dunia berasal dari Muna, bukan dari China.
Kini kita kembali membahas teori Oppenheimer. Benua ini menurut Oppenheimer ada pada sekitar 14.000 tahun yang silam, sudah didiami oleh manusia. Menurut Oppenheimer, dari 14.000 tahun lalu itulah Zaman Es mulai berakhir. Oppenheimer menyebutnya sebagai banjir besar. Masih menurut Oppenheimer, banjir ini tidak terjadi secara mendadak, melainkan naik perlahan-lahan.
Dalam periode banjir pertama, air laut naik sampai 50 meter. Ini terjadi dalam 3.000 tahun. Separuh daratan yang menghubungkan China dengan Kalimantan, terendam air. Lalu terjadilah banjir kedua pada 11.000 tahun lalu. Air laut naik lagi 30 meter selama 2.500 tahun. Semenanjung Malaysia masih menempel dengan Sumatera. Namun Jawa dan Kalimantan sudah terpisah. Laut China Selatan mulai membentuk seperti yang ada hari ini. Berikutnya terjadi banjir ketiga pada 8.500 tahun lalu. Benua Sundaland akhirnya tenggelam sepenuhnya karena air naik lagi 20 meter. Terbentuklah jajaran pulau-pulau Indonesia, dan Semenanjung Malaysia terpisah dengan Nusantara.
Kenaikan kenaikan air laut ini sangat berpengaruh kepada seluruh manusia penghuni Sundaland. Mereka pun terpaksa berimigrasi, menyebar ke seluruh dunia termasuk ke India dan Cina.
Boleh jadi di kemudian hari keturunan para imigran di Cina tersebut berlayar kembali ke selatan dan mendarat di Sundaland yang tentunya saja benuanya telah berubah, yang notabene merupakan tanah asal leluhur mereka. Salah satu lokasi domisili mereka adalah tanah Minangkabau selain Aceh, dan Sumatera bagian selatan serta Sumatera Utara.
Belum lama ini saya memperoleh informasi bahwa ada kepercayaan dalam masyarakat Batak bahwa nenek moyang mereka berasal dari suku asli di Formosa (Taiwan) yg diyakini menyebar ke Selatan melalui Filipina (sebagian menetap jadi suku Tagalog), Sulawesi (menjadi suku Toraja), Lombok (suku Sasak), lalu ke Sumatera (suku asli Lampung?) dan kemudian sampai di daerah Tapanuli. Ini dibuktikan melalui kesamaan kebudayaan, termasuk bentuk kesenian dan bahasa yg digunakan hingga sekarang.
Lalu kita coba lihat betapa wajah dan kulit orang Palembang, Jambi dan Bengkulu yang sangat mirip dengan orang Cina. Demikian pula sunting pengantin mereka yang ada kemiripannya dengan hiasan kepala pengantin wanita Cina seperti di Zhuang dan Yao.
Sebagai manusia yang dilengkapi Allah dengan akal dan pikiran, fakta-fakta diatas rasanya cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa anak bangsa Indonesia ini setidaknya penduduk asli Sumatera dan Indonesia bagian tengah adalah keturunan  bangsa Cina, alias nenek moyangnya sama. Sehingga dengan demikian apakah masih layak kalau kita selalu ribut dan membuat dikotomi antara penduduk Indonesia dan bangsa pendatang seperti Cina? Jangan-jangan mereka yang menuding orang lain sebagai keturunan Cina juga berasal dari keturunan yang sama, tanpa disadarinya. Wallahualam.
Kebetulan esok hari kita akan memperingati hari bersejarah bangsa ini, hari kemerdekaan Indonesia yang telah melepaskan diri dari penjajahan kolonial Belanda 67 tahun yang silam. Maka sudah selayaknya kita menyongsong masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik, yang demokratis, plural dan bhinneka tunggal ika dengan semangat optimisme serta kebersamaan.
Merdeka!!!

Sumber informasi:
  • Sejumlah artikel, diskusi elektronik dan foto-foto di Internet
  • Sejarah Minangkabau, Drs. M.D. Mansoer dkk, Bhratara, 1970
  • Nadra, Daerah Pertama Yang Didiami oleh Orang Minangkabau Berdasarkan Bukti Linguistis: Kajian Awal, 1999
  • http://blogs.itb.ac.id/iban/2012/01/31/sundaland-part-2/

ORANG MINANG KETURUNAN YAHUDI (ambil hikmah nya saja pren.. ^_^)

Setelah sebelumnya artikel ini pernah saya post di blog ini..
Namun karena banyaknya protes dan kritikan, akhirnya artikel ini saya delete saja..
Sekarang saya post lagi..
Bukan untuk konfrontasi..
Banyak hikmah yang diambil dari penelitian penulis Inggris ini..
Saya juga gadis Minang..
Ada beberapa fakta yang memang bisa saya benarkan..
Karena memang benar ada dalam tradisi Minangkabau..

1. Artikel di Kaskus yang sudah jadi "hot discussed"

Benarkah Orang Minang Keturunan Yahudi



1. Sejarah Minangkabau menurut Tambo
Asal-usul minangkabau menurut Tambo Alam Minangkabau
Tiga anak dari Raja Iskandar Zulkarnain (Alexander Agung) dari Makadunia (Macedonia) yaitu Maharajo Alif, Maharajo Depang dan Maharajo Dirajo berlayar bersama, dan saat dalam perjalanan mereka bertengkar sehingga mahkota kerajaan jatuh ke dalam laut. Maharajo Dirajo yang membawa Cati Bilang Pandai –seorang pandai emas- berhasil membuat satu serupa dengan mahkota yang hilang itu. Mahkota itu lalu ia serahkan kepada abang-abangnya, tetapi mereka mengembalikannya kepada Maharajo Dirajo karena ia dianggap yang paling berhak menerima, karena telah berhasil menemukannya.
Mereka adik beradik lalu berpisah. Maharajo Alif meneruskan perjalanan ke Barat dan menjadi Raja di Bizantium, sedang Maharajo Depang ke Timur lalu menjadi menjadi Raja di China dan Jepang (Jepun), manakala Maharajo Dirajo ke Selatan sedang perahunya terkandas di puncak Gunung Merapi saat Banjir Nabi Nuh melanda. Begitu banjir surut, dari puncak gunung Merapi yang diyakini sebagai asal alam Minangkabau turunlah rombongan Maharajo Dirajo dan berkampung disekitarnya. Awalnya terlihatlah puncak gunung Merapi tersebut sebesar telur itik. Lama kelamaan karena air surut, barulah terlihat sebagian besar gunung tersebut. Hingga muncullah filosofi “Dari mano asal nyo palito, dari telong dan ba tali. Dari mano asal niniak kito, dari puncak gunuang Marapi”. (Dari mana asalnya pelita, dari telong yang bertali. Dari mana asal nenek moyang kita, dari puncak gunung Merapi”

2. Sejarah Minangkabau versi Terbaru
Hampir semua orang Minang percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari dataran tinggi di Sumatera yang dipimpin oleh Raja Alexander Agung atau Izkandar Zulkarnain. Menurut Sejarah Kristen, raja tersebut hidup dari zaman 356 SM sampai 323 SM. Dia juga dikenal sebagai Raja Alexander III dari Macedonia, seorang pemimpin militer yang paling berhasil sepanjang zaman dan dianggap tidak bisa dikalahkan dalam setiap pertempuran. Di zamannya, dia sudah menguasai kebanyakan daerah yang sudah dikenal.
Ayahnya adalah Philip II yang menyatukan kebanyakan kota2 di dataran utama Yunani dalam kepemerintahan Macedonian dalam sebuah Negara federasi yang disebut Persatuan Corinth (League of Corinth) Raja Alexander menguasai daerah2 termasuk Anatolia, Syria, Phoenicia, Judea ,Gaza, Mesir, Bactria, Mesopotamia (Irak), dan dia memperluas batas2 imperiumnya sejauh Punjab, India.
Menurut AlQuran, Zulkarnain juga sempat mengunjungi China dan membantu membangun Tembok Besar China. Alexander menyatukan banyak suku2 asing ke dalam kesatuan tentaranya, yang akhirnya membuat para cendikiawan menganggap dia sebagai seorang Bapak Penyatuan. Dia juga Mendorong pernikahan antara tentaranya dengan suku2 asing tersebut, dan dia sendiri juga menikahi 2 putri dari suku2 asing tersebut.
Daerah paling terpopular yang pernah ia kuasai adalah Alexandria (Mesir) atau dalam bahasa arab Iskandariyah, dinamai sesuai namanya. Al Quran menyebutkan Raja Alexander dalam beberapa ayat antara lain Al Kahfi 83-89. Diantara tentaranya, ada beberapa suku Yahudi yang ikut yang dikenal sebagai B’nai Jacob (Anak dari Nabi Yakub).
Hari ini, para keturunannya menyebut dirinya sebagai orang Minangkabau, yang didapat dari kata2 generasi mereka sebelumnya “Bainang Ka Yakubu” atau aslinya B’nai Yakub (sesuai lidah generasi pertama). Selama kunjungan Alexander ke Asia Timur, Pernikahan besar2an antara tentara Alexander dan suku asli Asia timur terjadi sesuai perintah Alexander, karena China adalah tempat yang sangat damai untuk beristirahat, dan tentu saja, karena raja tidak membawa wanita di dalam tim tentaranya.
Dan hasilnya, pria dari suku Yahudi B’nai Yakub menikah dengan wanita2 dari suku di China dan membawa kebudayaan dari masing2 adat. Dari Cina, Raja melanjutkan berlayar ke Laut Cina Selatan dan memutari Selat Malaka menuju pantai barat Sumatera.
Beberapa keluarga percampuran Yahudi-China tersebut memutuskan untuk menetap, yang lain mengambil rute lain ke India dari jalur Nepal. Ketika mereka sampai diantara pulau Siberut dan dataran utama Sumatera mereka dapat Melihat puncak Gunung Merapi.
Jika anda pergi naik Speedboat dari Pelabuhan Ikan Padang, Muara dan pergi ke Pulau Siberut, sekitar 2 jam setelah meninggalkan pulau utama, dengan cuaca yang baik, anda akan bisa melihat Gunung merapi nun jauh disana. Kelihatan mistik. Sekitar 4 jam dengan boat dari Padang ke Pulau Siberut. Merapi adalah sebutan sekarang, kata ini diturunkan dari kata “Marave”, bahasa Aram yang berarti “tempat yang paling tinggi” (ada lagu daerah yang terkenal yang diambil dari cerita kuno yang mengatakan “Sajak Gunuang Marapi sagadang talua itiak.” Yang berarti “sejak Gunung Merapi sebesar telur itik). Bahasa Aram adalah bahasa Ibu dari Bahasa Arab dan Ibrani.
Bahasa ini dipercaya sebagai bahasa yang dipakai Nabi Ibrahim A.S dan dan tidak diragukan lagi begitu juga dipakai Raja Alexander juga.
Di dekat Gunung Merapi, Raja menemukan tempat yang sesuai untuk mengakhiri perjalanan. Dia meminta tentaranya yang menikah untuk memulai membuat tempat yang lebih permanent.
Dalam istilah kuno orang Minang, Kata yang berarti memulai untuk membuat tempat perlindungan adalah “taruko” yang ternyata berakar dari bahasa Aram “tarukh” atau “tarack” dan bahasa Ibrani.
Alexander kemudian wafat disana dengan damai dan dikuburkan di pemakaman mewah bernama Pariangan (Taman Pharaoh)
Hari ini,pengunjung dapat dengan mudah menemukan kuburan sepanjang 7 meter disana dan itu diyakini sebagai tempat peristirahatan raja (saya pernah mengunjungi tempat itu tapi tidak memiliki kesempatan untuk secara tepat mengukurnya)
Salah satu istri Alexander Boendo Kendon (bahasa Aram yang berarti isteri yang tercinta) melahirnkanseorang anak satun2nya yang bernama Than Kendon (bahasa Aram yang berarti Anak tercinta) atau sekarang lebih dikenal sebagai Dang Tuanku.
Sebelum wafat, Alexander mewariskan satu set peraturan yang disebut Tamvo Alam (bahasa Aram yang berarti Kitab Pengakuan”) yang menjelaskan adat-adat untuk rakyatnya. (Hari ini,orang Minang masih bersandar kepada buku petunjuk tersebut untuk memecahkan masalah dan kompleksitas yang terjadi di komunitas mereka).
Kitab yang sekarang disebut “tambo” menyebutkan aturan2 tertentu yang sangat tegas. Mengenai matrilinear yang juga sangat umum dipakai oleh bangsa yahudi sekarang. Aturan Matrilinear sekarang disebut sebagai Ad Tho’t,Bahasa aram untuk “kepatuhan” atau Adat. Adat mengatur bahwa, seluruh barang termasuk harta warisan tidk terbatas hanya tanah saja,rumah dan sawah hanya boleh diberikan kepada wanita saja

3. Bukti yang Menunjukkan Kemiripan Yahudi dengan Orang Minang

1.Orang minang terkenal dengan jiwa berdagang.
Kita semua tahu, bahwa saat ini Yahudi secara tidak langsung telah menguasai perekonomian dunia. Lihat saja produknya seperti coca-cola, pepsi, unilever, kfc. Itu semua milik mereka. Jika kita lihat pada masyarakat minang, dapat ditemukan sedikit persamaan. Secara tidak langsung suku minang juga telah menguasai negeri. Buktinya saja warung makan padang dapat ditemui di berbagai penjuru negeri ini. Bahkan mungkin di bulan ada penghidupan, warung padangpun juga akan berdiri disana.
Dan dari sinilah dapat kita ambil kesimpulan bahwa yahudi dan suku minang sama-sama telah “menjajah secara diam-diam”.

2.Tidak betah dirumah
Tidak betah dirumah ini diartikan sebagai tabiat yang sering merantau. Seperti yang kita tahu, kebanyakan dari orang minang adalah perantau. Tujuannya tidak buruk, hanya sekedar untuk merubah nasib. Karena itulah kita dapat menemukan orang minang di berbagai pelosok negeri ini. sama halnya dengan yahudi yang juga dapat ditemui diberbagai penjuru negeru dunia. Hanya 1/3 bangsa yahudi yang bertempat tinggal di israel,selebihnya menyebar.

3.sistem keturunan
Sistem keturunan berdasarkan keturunan ibu (matrilineal) sangatlah sedikit di dunia ini. Berdasarkan data yang ada, hanya Minangkabau dan Yahudi pemeluknya. Mengapa demikian? Ada sumber mengatakan bahwa suku minang awalnya menganut paham patrilinial. Namun karena terjadi suatu serangan, lalu rajanya saat itu merubah sistem kekerabatan yang adda di minangkau menjadi matrilinial. Jika ditanya dari mana asalnya, pasti orang minang menjawabnya “tambo”. Karena itu adalah buku pedoman masyarakatnya menjalani hidup dan kehidupan. Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa tambo adalah kitab yang diwariskan oleh raja Alexander.

4.gaya diplomatik
Orang minang terkenal dengan diplomatiknya. Sebut saja M. Hatta, H.agus Salim, Syahrir, Tan Malaka dan masih banyak lainnya. Hampir sama dengan yahudi, diplomatik mereka sungguh sangat hebat. Bagaimana mungkin negara kecil yang baru berdiri pada tahun 1948 bisa menguasai Inggris dan amerika jika bukan karena diplomatik mereka sungguh handal.

inilah beberapa tanda yang menunjukkan persamaan antara Orang Minang dengan Yahudi. Dari sini mungkin kita sedikit percaya bahwa mereka adalah adalah berasal dari keturunan yang sama. Namun, jika diteliti lagi, terdapat suatu pertentangan atas argumen ini. Karena orang minang mayoritas pemeluk agama islam. Jadi, masih sedikit diragukan bahwa mereka adalah keturunan Yahudi. 

2. Artikel yang sampai sekarang source menggunakan nama samaran "SayHeart Bougart"
    Artikel ini terjemahan dari artikel original berbahasa Inggris dan sudah dipublikasikan 
    sejak tahun 2000...

B'nai Jacob (MInagkabau), The lost Jews Tribe from West Sumatera??/ B'nai Jacob (Minangkabau), Suku Yahudi yang hilang dari Sumatera Barat??


Hampir semua orang Minang percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari dataran tinggi di Sumatera yang dipimpin oleh Raja Alexander Agung atau Izkandar Zulkarnain.. Menurut Sejarah Kristen, raja tersebut hidup dari zaman 356 SM sampai 323 SM. Dia juga dikenal sebagai Raja Alexander III dari Macedonia, seorang pemimpin militer yang paling berhasil sepanjang zaman dan dianggap tidak bisa dikalahkan dalam setiap pertempuran. Di zamannya, dia sudah menguasai kebanyakan daerah yang sudah dikenal. 


Ayahnya adalah Philip II yang menyatukan kebanyakan kota2 di dataran utama Yunani dalam kepemerintahan Macedonian dalam sebuah Negara federasi yang disebut Persatuan Corinth (League of Corinth) Raja Alexander menguasai daerah2 termasuk Anatolia,Syria,Phoenicia,Judea ,Gaza,Mesir, Bactria,Mesopotamia (Irak),dan dia memperluas batas2 imperiumnya sejauh Punjab,India.

Menurut AlQuran, Zulkarnain juga sempat mengunjungi China dan membantu membangun Tembok Besar China. Alexander menyatukan banyak suku2 asing ke dalam kesatuan tentaranya, yang akhirnya membuat para cendikiawan menganggap dia sebagai seorang Bapak Penyatuan. Dia juga Mendorong pernikahan antara tentaranya dengan suku2 asing tersebut,dan dia sendiri juga menikahi 2 putri dari suku2 asing tersebut
Daerah paling terpopular yang pernah ia kuasai adalah Alexandria (Mesir) atau dalam bahasa arab Iskandariyah,dinamai sesuai namanya. Al Quran menyebutkan Raja Alexander dalam beberapa ayat antara lain Al Kahfi 83-89. Diantara tentaranya, ada beberapa suku Yahudi yang ikut yang dikenal sebagai B’nai Jacob (Anak dari Nabi Yakub)
Hari ini,para keturunannya menyebut dirinya sebagai orang Minangkabau, yang didapat dari kata2 generasi mereka sebelumnya “Bainang Ka Yakubu” atau aslinya B’nai Yakub (sesuai lidah generasi pertama). Selama kunjungan Alexander ke Asia Timur,Pernikahan besar2an antara tentara Alexander dan suku asli Asia timur terjadi sesuai perintah Alexander,karena China adalah tempat yang sangat damai untuk beristirahat,dan tentu saja,karena raja tidak membawa wanita di dalam tim tentaranya.

Dan hasilnya, pria dari suku Yahudi B’nai Yakub menikah dengan wanita2 dari suku di China dan membawa kebudayaan dari masing2 adat. Dari Cina, Raja melanjutkan berlayar ke Laut Cina Selatan dan memutari Selat Malaka menuju pantai barat Sumatera
 

Beberapa keluarga percampuran Yahudi-China tersebut memutuskan untuk menetap, yang lain mengambil rute lain ke India dari jalur Nepal. Ketika mereka sampai diantara pulau Siberut dan dataran utma Sumatera mereka dapat Melihat puncak Gunung Merapi.
 

Jika anda pergi naik Speedboat dari Pelabuhan Ikan Padang,Muara dan pergi ke Pulau Siberut, sekitar 2 jam setelah meninggalkan pulau utama, dengan cuaca yang baik,anda akan bisa melihat Gunung merapi nun jauh disana. Kelihatan mistik. Sekitar 4 jam dengan boat dari Padang ke Pulau Siberut. Merapi adalah sebutan sekarang, kata ini diturunkan dari kata “Marave”, bahasa Aram yang berarti “tempat yang paling tinggi” (ada lagu daerah yang terkenal yang diambil dari cerita kuno yang mengatakan “Sajak
 

Gunuang Marapi sagadang talua itiak.” Yang berarti “sejak Gunung Merapi sebesar telur itik). Bahasa Aram adalah bahasa Ibu dari Bahasa Arab dan Ibrani.Bahasa ini dipercaya sebagai bahasa yang dipakai Nabi Ibrahim A.S dan dan tidak diragukan lagi begitu juga dipakai Raja Alexander juga.

Sambungan dari artikel lain...
Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak. Namun demikian kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.

Menurut Sejarah Kristen, raja tersebut hidup dari zaman 356 SM sampai 323 SM

Dia juga dikenal sebagai Raja Alexander III dari Macedonia, seorang pemimpin militer yang paling berhasil sepanjang zaman dan dianggap tidak bisa dikalahkan dalam setiap pertempuran. Di zamannya, dia sudah menguasai kebanyakan daerah yang sudah dikenal.

Ayahnya adalah Philip II yang menyatukan kebanyakan kota2 di dataran utama Yunani dalam kepemerintahan Macedonian dalam sebuah Negara federasi yang disebut Persatuan Corinth (League of Corinth)

Raja Alexander menguasai daerah-daerah termasuk Anatolia,Syria,Phoenicia,Judea,Gaza,Mesir
Bactria,Mesopotamia (Irak),dan dia memperluas batas-batas imperiumnya sejauh Punjab,India.

Menurut AlQuran, Zulkarnain juga sempat mengunjungi China dan membantu membangun Tembok Besar China

Alexander menyatukan banyak suku-suku asing ke dalam kesatuan tentaranya, yang akhirnya membuat para cendikiawan menganggap dia sebagai seorang Bapak Penyatuan. Dia juga
Mendorong pernikahan antara tentaranya dengan suku2 asing tersebut,dan dia sendiri juga menikahi 2 putri dari suku-suku asing tersebut

Daerah paling terpopular yang pernah ia kuasai adalah Alexandria (Mesir) atau dalam bahasa arab Iskandariyah,dinamai sesuai namanya.

Al Quran menyebutkan Raja Alexander dalam beberapa ayat antara lain Al Kahfi 83-89

Diantara tentaranya, ada beberapa suku Yahudi yang ikut yang dikenal sebagai B’nai Jacob (Anak dari Nabi Yakub)

Hari ini,para keturunannya menyebut dirinya sebagai orang Minangkabau, yang didapat dari kata-kata generasi mereka sebelumnya “Bainang Ka Yakubu” atau aslinya B’nai Yakub
(sesuai lidah generasi pertama)

Selama kunjungan Alexander ke Asia Timur,Pernikahan besar-besaran antara tentara Alexander dan suku asli Asia timur terjadi sesuai perintah Alexander,karena China adalah tempat yang sangat damai untuk beristirahat,dan tentu saja,karena raja tidak membawa wanita di dalam tim tentaranya.

Dan hasilnya, pria dari suku Yahudi B’nai Yakub menikah dengan wanita-wanita dari suku di China dan membawa kebudayaan dari masing-masing adat.

Dari Cina, Raja melanjutkan berlayar ke Laut Cina Selatan dan memutari Selat Malaka menuju pantai barat Sumatera.

Beberapa keluarga percampuran Yahudi-China tersebut memutuskan untuk menetap, yang lain mengambil rute lain ke India dari jalur Nepal

Ketika mereka sampai diantara pulau Siberut dan dataran utma Sumatera mereka dapat Melihat puncak Gunung Merapi.

Jika anda pergi naik Speedboat dari Pelabuhan Ikan Padang,Muara dan pergi ke Pulau Siberut, sekitar 2 jam setelah meninggalkan pulau utama, dengan cuaca yang baik,anda akan bisa melihat Gunung merapi nun jauh disana. Kelihatan mistik. Sekitar 4 jam dengan boat dari Padang ke Pulau Siberut.

Merapi adalah sebutan sekarang,kata ini diturunkan dari kata “Marave”, bahasa Aram yang berarti “tempat yang paling tinggi”

(ada lagu daerah yang terkenal yang diambil dari cerita kuno yang mengatakan “Sajak
Gunuang Marapi sagadang talua itiak.” Yang berarti “sejak Gunung Merapi sebesar telur itik)

Bahasa Aram adalah bahasa Ibu dari Bahasa Arab dan Ibrani.Bahasa ini dipercaya sebagai bahasa yang dipakai Nabi Ibrahim A.S dan dan tidak diragukan lagi begitu juga dipakai Raja Alexander juga.

Di dekat Gunung Merapi, Raja menemukan tempat yang sesuai untuk mengakhiri perjalanan. Dia meminta tentaranya yang menikah untuk memulai membuat tempat yang lebih permanent.

Dalam istilah kuno orang Minang, Kata yang berarti memulai untuk membuat tempat perlindungan adalah “taruko” yang ternyata berakar dari bahasa Aram “tarukh” atau “tarack” dan bahasa Ibrani.

Alexander kemudian wafat disana dengan damai dan dikuburkan di pemakaman mewah bernama Pariangan (Taman Pharaoh)

Hari ini,pengunjung dapat dengan mudah menemukan kuburan sepanjang 7 meter disana dan itu diyakini sebagai tempat peristirahatan raja (saya pernah mengunjungi tempat itu tapi tidak memiliki kesempatan untuk secara tepat mengukurnya)

Salah satu istri Alexander Boendo Kendon (bahasa Aram yang berarti isteri yang tercinta) melahirnkanseorang anak satun2nya yang bernama Than Kendon (bahasa Aram yang berarti Anak tercinta) atau sekarang lebih dikenal sebagai Dang Tuanku

Sebelum wafat, Alexander mewariskan satu set peraturan yang disebut Tamvo Alam (bahasa Aram yang berarti Kitab Pengakuan”) yang menjelaskan adat-adat untuk rakyatnya

(Hari ini,orang Minang masih bersandar kepada buku petunjuk tersebut untuk memecahkan masalah dan kompleksitas yang terjadi di komunitas mereka)

Kitab yang sekarang disebut “tambo” menyebutkan aturan2 tertentu yang sangat tegas
Mengenai matrilinear yang juga sangat umum dipakai oleh bangsa yahudi sekarang

Aturan Matrilinear sekarang disebut sebagai Ad Tho’t,Bahasa aram untuk “kepatuhan” atau Adat.

Adat mengatur bahwa, seluruh barang termasuk harta warisan tidk terbatas hanya tanah saja,rumah dan sawah hanya boleh diberikan kepada wanita saja

Catatan:
Islam datang ke dataran Minangkabau kira-kira pada abad ke 13 dang mendapatkan tentangan keras dari Kaum Adat. Ketika Ajaran wahabi datang, pada abad ke 18, sebuah kompromi terjadi antara agama dan adat Minangkabau dan dikenal sebagai Adat Basandi Syara’,Syara’ Basandi Kitabullah (adat bersendi Syariat Islam,Syariat Islam bersendi Al Quran)

Sistem Matrilinear masih menyisakan jejak2nya sampai Sekarang.Bahkan Sheikh Minangkabauwi, seoran ulama kelahiran Sumatera Barat memutuskan untuk menetap dan menjadi imam di masjidil haram di mekkah ketimbang kembali ke kampong halamannya untuk menunjukkan ketidaksukaanya terhadap system yang dia sebut kafir.

Untuk menjaga dan menyakinkan Adat benar-benar menjadi pola-pola perilaku Kaumnya, raja Alexander menunjuk penasehatnya yang bernama Raphael (Perpatih) dari suku B’nai Yakub dan Tun Gong (Tumenggung) dari suku China

Rafael memimpin dan menjaga kepentingan keluarga Carta (Koto) dan Phillip (Piliang) sedangkan Tun Gong memimpin keluarga Bong Ti (Bodi) dan Chan Yah Goh (Chaniago).

Setelah itu,semua keturunan Perpatih dan Tumenggung dianugrahi gelar “Datuk” yang berasal dari nama “Dan Tuanku” yang meninggal di usianya yang cukup muda

Dilihat dari kesamaan dengan atribut bangsa Yahudi seperti aturan warisan berdasarkan matrilinear dan karakternya yang berbeda dengan rata-rata orang Indonesia kebanyakan, Seorang dari suku Minang tidak jarang diprediksikan sebagai “Bangsa Yahudi Indonesia”

Tapi sayang,kerabatnya di Israel mungkin tidak terlalu senang mendapat berita ini karena
Fakta menyebutkan bahwa semua orang Minang adalah umat Muslim
 
 3. Berikut artikel original masih dalam bahasa Inggris...
B'nai Jacob (Minangkabau) , the lost tribes of Jews from West Sumatra
Almost all Minangkabauans believe that their ancestors came to the
highland of Sumatra along with the forces of King Alexander the Great
(Izkandar Zulkarnain).

According to Christian historians, the prophet king lived from 356 BC
– 323 BC.

He was also known as Alexander III of Macedon, one of the most
successful military commanders of all time and is presumed undefeated
in battle. By his time, he had conquered most of the known world.

His father was Philip II who unified most of city states of mainland
Greece under Macedonian hegemony in a federation called the League of
Corinth.

King Alexander's conquests included Anatolia, Syria, Phoenicia, Judea,
Gaza, Egypt, Bactria and Mesopotamia, and he extended the boundaries
of his own empire as far as Punjab, India.

And according to Quran, Zulkarnain also visited China and help built
the Great Wall.

Alexander integrated many foreigners into his army, leading some
scholars to credit him with a "policy of fusion". He also encouraged
marriages between his soldiers and foreigners, and he himself went on
to marry two foreign princesses.

The most popular territory he conquered was Alexandria (Egypt) or in
Arabic `Iskandariyah' –named after him.

Quran mentions King Alexander in several verses particularly in Al
Kahfi:83-89.

Among the army, there followed those from Jewish families known as
B'nai Jacob (Children of Jacob).

Today they are called Minangkabau, coming from the words of later
generation `Bainang Ka Yakubu' or genuinely B'nai Jacob (first
generation tongue).

During his visit to East Asia, massive marriages were made to follow
the King's orders because China was quite a peacefull place to rest
--simply because the King did not bring women in the army.

As the result of such an encounter, men from B'nai Jacob were married
to Chinese women and brought cultures from both civilization.

From China, the King continued to sail along the South China Sea and
turned around Malacca Straits following the western coast of Sumatra.

Some families decided to stay, others picked other routes to
subcontinent of India from Nepal paveway, the only shortcut existed
during the period)
When they reached between Siberut Island and the mainland of Sumatra,
they could see the peak of Mount Merapi.

If you take a speedboat from the Padang fish port called Muara and go
to Siberut Islamd, about 2 hours from leaving the mainland with clear
weather you can see Mount Merapi afar. It looked mystical to me when I
was there. It took 4 hours to boat from Padang to Siberut.)

Merapi is today tongue. It derives from `Marave,' an Aramaic for `the
highest place.'

(There is a famous lullaby taken from ancient stories saying, "Sajak
Gunuang Marapi sagadang talua itiak.' It means, "Since the Mount of
Merapi still as big as avian egg.")

Aramaic is the mother language of Arabic and Hebrew. It is also
believed as the language that Prophet Abraham used and undoubtedly
King Alexander as well.

Near the Mount of Merapi, the King found a perfect domain to end the
journey. He ordered his married army to start a more permanent settlement.

In old language of Minangkabau, the word that means to start a
settlement is `taruko' that roots from Aramaic, `tarukh' or `tarack'
in Hebrew tongue.

He died there peacefully and buried in a luxury cemetery called
Pariangan (Pharaoh's Garden).

Today visitors today can easily find a (about) 7-meter long grave
there that is believed to be the king's eternal restplace ( I ever
visited the place but not precisely had any chance to measure it).

His wife Boendo Kendon (Aramaic for `beloved wife') or Bundo Kanduang
(today tongue) gave an only child named Than Kendon (Aramaic for
`beloved son') or popularly known as Dang Tuanku.

Before his death, King Alexander decreed a set of rules called Tamvo
Alam (Aramaic for `book of acknowledgement' ) that defines customs for
his people.

(Today Minangkabauan still refers to the guidance book to solve
problems and complexities occurred in their communities. For instance,
a son may still insist that heritage divided upon Sharia while others
maintain `Pusako' – the matrilinear legacy chapters from Aramaic `
Saccard' that means sacred or holy treasures.

In the book (today called `Tambo') mentions certain strict rules about
matrilinear (motherline) that was also commonly applied in Jewish
communities today.

The matrilinear rules were at the time called Ad Tho't, Aramaic for
`the obedience' or Adat.

The Adat rules out that all properties and legacies including but not
limited in land, houses, ricepaddy should only go to women.

Note: Islam came to the highland about 13th century facing resistance
from Keepers of Adat. When Wahabis came, in 18th century, a compromise
was made and famously known as Adat Basandi Syara' and Syara' Basandi
Kitabullah (Adat follows Sharia and Sharia should follow Al Quran).

(Matrilinear system remains until today. Even Sheikh Minangkabauwi, an
ulema born in West Sumatra decided to stay and became `imam' of the
Mosque of Haram in Mecca instead of coming back home to show his
despair of such a system that he called `kafir' or `infidels.')

To preserve and ensure that Adat was fully complied with behavioral
patterns of the people, King Alexander therefore appointed his
confidantes namely Raphael (Perpatih) representing the the clan of
B'nai Jacob and Tun Gong (Tumenggung) representing Chinese tribes of
their wives.

Raphael represented, ruled and protected interests of Carta (Koto) and
Phillip (Piliang) families while Tun Gong acted similarly for Bong Ti
(Bodi) and Chan Yan Goh (Chaniago) families.

Later, all descendants of Perpatih and Tumenggung were crowned with
noble titles `Datuk' coming from the name of `Dan Tuanku' who died in
his early youth.

Regarding their similiarities with Jewish attributes such as
motherline system of legacy and distinguished characters compared to
average Indonesians, a Minangkabauan is today not rarely predicated as
the `Jewish Indonesian.'

Unfortunately, a hasidic Jew from Israel might not be happy with the
fact today that all Minangkabauans are Muslims.