Selasa, 23 Oktober 2012

FOOTNOTE (buku, internet, berita koran, berita online)

BUKU
Unsur yang diperlukan dicantumkan adalah:
1. Nama Pengarang,
2. Judul Buku yang ditulis dengan huruf italic,
3. Jilid,
4. Cetakan,
5. Tempat Penerbit,
6. Nama Penerbit,
7. Tahun diterbitkan, dan
8. Halaman (disingkat h. saja, baik untuk satu halaman maupun beberapa halaman) dari mana referensi itu berasal.

Contoh: F.X. Djumialdji, 1981,Perjanjian Kerja, Bina Aksara, Jakarta, hlm 12.

INTERNET
1. buat footnote pada ms office seperti biasa;
2. setelah terbentuk catatan kaki di bawah halaman tulisan ilmiah kita, input nama pengarang dst (lebih lengkap lihat metode membuat catatan kaki);
3. copy alamat dari suatu halaman internet/website melalui "address bar" dari browser yang kita pakai; (lihat gambar 1)
4. buka kembali jendela ms office tempat kita membuat catatan kaki; (lihat gambar 2) posisikan dimana kita akan menempatkan catatan kaki, klik kanan menggunakan mouse/touchpad kita, sorot dan pilih "Hyperlink"; (lihat gambar 2)
5. setelah terbuka tab hyperlink, pada kolom address, kita paste-kan link (alamat suatu halaman internet/website), gunakan tombol "Ctrl" + "V" pada keyboard pc/laptop kita; (lihat gambar 3)
6. setelah kita copas alamat internet/website, klik tombol "Ok" maka akan terbentuk suatu hyperlink dari internet/website pada catatan kaki tulisan/karya ilmiah kita (lihat gambar 4), lengkapi semua unsur2 dalam penulisan catatan kaki yang bersumber dari internet sesuai tatacara penulisan yang berlaku di lingkungan akademik tempat kita belajar;
7. suatu hyperlink yang baik (biasanya berwarna biru dan bergaris bawah), akan menuntun kita langsung ke alamat website/internet sebagaimana yang tertulis pada catatan kaki, test link tersebut dengan mengarahkan mouse kita ke link ybs, tekan tombol "Ctrl" dan klik 1 kali. (terlebih dahulu harus terkoneksi ke internet).

Contoh : 1 Pudio, Metode/Cara Membuat Catatan Kaki, http://pudio-announcement-news.blogspot.com/2011/08/metodecara-membuat-catatan-kaki-foot.html, diakses 24 Oktober 2011, jam 11.30 WIB.

BERITA KORAN, ARTIKEL DAN JURNAL
Unsur yang perlu dicantumkan adalah:
1. Nama Pengarang/Penulis Artikel (kalau ada),
2. Judul Artikel (di antara tanda kutip),
3. Nama Surat Kabar (huruf italic),
4. Nomor Edisi, Tanggal, dan Halaman.

Contoh:

Sayidiman Suryohadiprojo, “Tantangan Mengatasi Berbagai Kesenjangan”, Republika, No. 342/II, 21 Desember 1994, h. 6. 3”PWI Berlakukan Aturan Baru” [Berita], Republika, No. 346/II, 28 Desember 1994, h. 16.

 Bachrawi Sanusi, “Ketimpangan Pertumbuhan Ekonomi,” Panji Masyarakat, No. 808, 1‐10 Nopember 1994, h. 30. BERITA ONLINE sama dengan penulisan footnote berita namun cantumkan hyperlinknya.

Jarakkan 6 ketuk atau satu spasi untuk baris pertama dari baris kedua


Rabu, 29 Agustus 2012

Bahan Penelitian

Dinamika Perkembangan TPA, TPSA dan MDA di Sumatera Barat*) 10 Juni 2010 Oleh Drs. H. Fachrul Rasyid HF Berbicara mengenai Taman Pendidikan Alquran (TPA) Taman Pendidikan Seni Alquran (TPSA) dan Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) di Sumatera Barat mau tak mau kita berbicara tentang surau di Minangkabau. Karena, dari suarulah pendidikan/ pengajaran Alquran di Minangkabau bermula. Sebelum Islam masuk dan diterima sebagai agama di Minangkabau, surau boleh dibilang hanyalah sebagai rumah laki-laki bujangan, yang muda maupun yang tua. Maklum, dalam konstruksi bangunan rumah adat Minang tidak tersedia ruangan untuk anak laki-laki atau bujangan. Buat mereka disediakan surau atau langgar, layaknya bangunan rumah biasa yang punya kamar, dapur dan sumur tempat mandi. Setelah Islam masuk di Minangkabau, diantara pemuda yang memperoleh pendidikan dan pengajian agama dari kalangan juru dakwah setempat atau di perantauan, mengembangkan ilmunya di surau di mana mereka biasa menginap. Mereka mengajar anak-anak mengaji secara halaqah/lesehan: membaca Alquran, hadits, ibadah, akhlak melalui cerita atau kisah-kisah. Mereka mengajarkan menulis bahasa Melayu dengan tulisan Arab (Arab Melayu). Tapi ada pula surau yang menjadi sanggar silat karena kebetulan yang diajarkan di sana adalah bel;a diri silat. Karena itu ada surau tempat mengaji dan ada surau silat dan sebagainya. Sampai di situ surau belum identik dengan tempat ibadah layaknya mushalla. Dalam perkembangannya, sesuai dengan keterbatasan lembaga pendidikan dan diterimanya unsur kepemimpinan agama dalam sistem kepemimpinan masyarakat Minangkabau, surau mengaji terus mendapat tempat sehingga surau identik dengan tempat mengaji. Bahkan kemudian banyak surau yang berkembang jadi madrasah, jadi mushalla dan bahkan jadi masjid. Itu sebabnya hingga kini masjid dan mushalla masih disebut surau. Prof. Mahmud Junus (dalam SPI Indonesia) mencatat, sampai akhir abad ke 19 satu-satunya qari terbaik di Minangkabau adalah Syekh Abdurraham di Batu Hampar, Kabupaten 50 Kota. Setelah wafat tahun 1317 H/ 1900 M, ia digantikan dua anaknya, H.M. Rasyad dan H. Arifin. Suaru Abdurhaman kemudian berkembang jadi madrasah dan hingga sekarang banyak lmelahirkan pembaca Alquran terbaik. Mengaji di surau kemudian menyesuaikan diri dengan pendidikan formal (punya ruang kelas, papan tulis dan mengunakan kursi dan meja) setelah H. Abdul Karim Amarullah – Inyiak Rasul (ayah Hamka) mengembangkan suraunya jadi Madrasah Sumatera Thawalib di Padangpanjang tahun 1921. Kemudian diikuti Sumatera Thawalib Syekh Ibrahim Musa Parabek. Sumatera Thawalib Padang Japang (Darul Funun El Abbasyiah), Maninjau, dan Sungayang. Setelah madrasah berkembang jadi pendidikan formal, suaru mengaji berdiri sendiri di surau, di masjid atau mushalla. Surau mengaji, bagi anak-anak setingkat SD dan SMP, dikhususkan pada pelajaran memabaca/ menulis Alquran, belajar hadits, dasar-dasar keagamaan, ibadah dan akhlak. Kapan persisnya pendidikan Alquran di surau berubah jadi TPA/ TPSA/ MDA belum diperoleh hasil penelitian yang konverhensif. Yang ada hanya cerita berdasarkan pengamatan dan pengalaman orang perorang. Diperkirakan peralihan itu terjadi sekitar tahun 1960-an di saat Pemerintahan Soekarno yang didominasi PKI hingga terjadi peristiwa G.30.S/PKI 30 September 1965 di mana tekanan terhadap umat Islam semakin berat. Atau bersamaan lahirnya kegiatan Dididikan Subuh. Toh, hal itu tak akan dibahas lebih jauh mengingat pembicaraan forum ini terfokus pada perkembangan TPA/TPSA/MDA. II.Saya percaya belum ada data dan informasi yang akurat tentang perkembangan TPA/TPSA/MDA ini. Maka untuk membicarakan Dinamika Perkembangannya tentulah tidak cukup hanya dengan melihat jumlah anak-anak yang belajar mengaji di berapa masjid dan mushalla saja. Tidak juga dengan mendengar pendapat beberapa orang tentang adanya persentase murid sekolah tertentu yang tak bisa membaca Alquran. Tidak cukup juga hanya dengan melihat ramainya acara khatam Alquran, lomba juz amma, lomba asmaul husna di beberapa nagari dan kota. Bahkan aktivitas MTQ, jumlah peserta dan pemenang MTQ, mulai dari antar nagari/ kelurahan, antar kecamatan, antar kabupaten dan antar provinsi/ nasional tidak cukup mengindikasikan dinamika kemajuan TPA/TPSA/MDA itu. Soalnya, lebih 15 tahun terakhir beredar isu bahwa diantara anggota kafilah bukan berasal dari nagari/ kelurahan, kecamatan atau kabupaten yang diwakilinya. Mereka, meski ada yang penduduk setempat tapi belajar Alquran di kabupaten atau provinsi lain. Dari situ kemudian muncul istilah qari-qariah rental, atau bajakan. Kejadiannya persis atlet cabang-cabang olahrga pada Porda atau PON atau kompetisi sepakbola antar kota di Indonesia yang nyaris didominasi pemain asing. Tak aneh kalau ada anggota kafilah yang didiskualifikasi dan “ditendang” ke luar gelanggang karena ketahuan tidak asli. Ada yang berganti nama dan berganti alamat, bahkan memanuipulasi usia. Karena itu meski pejabat Departemen Agama dan Bupati/walikota bangga kafilah daerahnya berhasil jadi juara satu atau juara umum, namun kebanggaan itu boleh disebut kebanggan formalitas dan semu. Membicarakan Dinamika Perkembangan TPSA, TPSA, dan MDA, jelas perlu dilihat dari berbagai sisi, indikator dan faktor. Misalnya jumlah murid dan jumlah unit, kondisi fasilitas, metoda, kurikulum jumlah dan mutu guru termasuk kemampuan serta kualitas tamatannya. Sayang, meski sudah berlangsung lebih satu abad, namun belum ada inventarisasi indikator dan faktor perkembangan TPA/TPSA/MDA yang bisa dijadikan perbandingan dan rujukan. Penjenjangan dan kalisfikasi juga tidak jelas dan tidak terkendali secara benar dan tepat. Dulu, di akhir tahun 1980-an pernah diterapkan penjenjangan atau klasifikasi TPA, TPSA, MDA mengikuti sekolah formal. TPA untuk murid kelas 1 s/d kelas 6 SD terdiri dari tiga kelas 1 s/d kelas 3. Pada kelas 1 diajarkan membaca/ menulis tulisan Arab/Alquran ditambah akhlak. Pada kelas 2 diajarkan membaca/menulis tulisan Arab/Alquran. Pelajaran/paraktek ibadah, aqidah/akhlak dan hafalan ayat-ayat pendek. Pada kelas 3 diajarkan membaca dan menulis Alquran, tajwid dan irama membaca Alquran. TPSA, untuk murid kelas tiga hingga kelas 6 SD, mengajarkan selain membaca dan menulis Alquran, terjemahan/tafsir Alquran, juga ibadah dan akhlak. MDA , untuk murid SD kelas 3 hingga kelas 5. Terdiri dari tiga kelas I/II dan III. Pelajarannya, ilmu dan pengetahuan agama, Alquran, tafsir, terjemahan dan ibadah. Sejak 10 tahun belakangan tidak seluruh masjid dan mushalla yang menerapkan klasifikasi dan spesipikasi TPA/TPSA/MDA itu. Baik karena keterbatasan guru, murid maupun karena keterbatas an waktu belajar mengaji anak-anak. Pemahaman tentang Taman Pendidikan Alquran kini semakin bergalau karena sejak tahun 2008 Departemen Agama memperkenalkan istilah baru, yaitu Taman Pendidikan Quran (TPQ) dan Taman Kanak-kanak Quran (TKQ) dan ada pula Madrasah Diniyah Wustha (MDW) untuk siswa SMP. Namun bagaimana penjenjangan, pola pengjaran dan kurikulumnya apakah sama dengan TPA/TPSA/MDA juga belum jelas. Padahal untuk melihat dinamika perkembangan TPA/TPSA /MDA seharusnya juga dicermati dari perkembangan dan keberadaan tiap jejang pendidikan. Dengan cara itu kita bisa tahu, apakah TPA berkembang dan TPSA tidak. Atau TPSA berkembang MDA tidak. Kini akibat tidak jelasnya penerapan klasifikasi pendidikan kitapun kesulitan mengetahui mana diantara tiga jenis pendidikan Alquran tersebut yang berkembang atau adakah diantaranya yang sudah mati. Dinamika perkembangan TPA/TPSA/MDA semakin sulit dideteksi karena sejauh ini belum ada sebuah organisasi, semacam badan koordinasi yang mengontrol dan mengevaluasi seluruh pendidikan Alquran di Sumatera Barat. Boleh jadi sudah ada lembaga/ badan koordinasi yang mengevaluasi tapi keberadaannya tidak jelas amat. Di Padang misalnya, ada Badan Koordinasi TPSA/TPA/MDA tapi khusus untuk koordinasi penyelenggaraan kurikulum, jadwal dan sertifikat Pesantren Ramadhan, bukan TPA/TPSA/MDA. Hebatnya, guru-guru TPA/TPSA/MDA mendapat honor triwulanan dari Pemko Padang. Pembicaraan yang ramai selama ini, nyaris dalam bentuk retorika tanpa didukung data dan fakta yang akurat. Misalnya retorika tentang “kehebatan” surau masa lalu, tentang kecemasan terhadap kemampuan baca tulis Alquran anak-anak, tentang pentingnya pendidikan Alquran dan harapan-harapan terhadap TPA,TPSA dan MDA. Deteksi dinamika perkembangan TPA/TPSA/MDA terasa semakian sulit karena Kanwil Departemen Agama Sumatera Barat hanya mencatat jumlah TPQ dan TKQ yang kini mencapai 5.398 unit. Angka itu tidak disertai analisa dan evaluasi kondisi bangunan dan fasilitas, jumlah dan tingkat kecakapan guru serta jumlah murid dan kualitas lulusannya. Data yang ada di Kanwil Departemen Agama hanya jumlah masjid ( 4.693 unit) , mushalla (4.449 unit) dan langgar/ surau (5.714 unit) atau total 14.856 unit. Kalau jumlah masjid/mushalla dan langgar itu dibandingkan TPQ/TKQ (5.398) berarti tiap dua dan tiga masjid/mushalla/langgar hanya terdapat 1 TPQ/TKQ. Jika angka itu benar, berarti belum seluruh masjid/mushalla/langgar di Sumatera Barat punya TPQ/TKQ atau belum menyelenggaran pendidikan Alquran. Akibatnya sulit diketahui apakah jumlah TPA/TPSA/MDA meningkat dari tahun-tahun atau sebaliknya. Tak jelas pula bagaimana kondisinya, apakah membaik atau memburuk. Kantor Departemen Agama tak melakukan evaluasi dan monitoring, mungkin, karena TPA/TPSA/ MDA bukan institusi pemerintah di bawah Departemen Agama melainkan milik masyarakat Islam. Kendati demikian jumlah TPA/TPSA/MDA dan jumlah peserta MTQ, apalagi prestasi qari/qariah dapat jadi prestasi pejabat Kakan Depag. Seolah pejabat Kantor Depag berperan sebagai pedagang pengumpul hasil pertanian yang tak ikut bertani. III. Sejauh ini yang bisa dilakukan agaknya hanya deskripsi sekilas tentang keberadaan TPA,TPSA, MDA di beberapa tempat. Diantaranya ada yang berkembang dan menghasilkan anak didik yang mampu membaca dan menghafal Alquran secara benar. Hal itu, tampaknya, antara lain karena kebetulan ada guru yang punya kemampuan seni baca Alquran yang tinggal dan menetap dalam waktu lama di lingkungan masjid di mana TPA itu berada. Tapi kebanyakan TPA/TPSA/MDA yang karena keterbatasan keuangan masjid dan ekonomi warga, rendahnya kesadaran warga mendidik anaknya di TPA/TPSA/MDA, terbatasnya kempauan guru, serta persoalan manajemen dan kepengurusan keadannya bak karakap di atas batu. Kadang guru-guru hanya diambil dari orang tua yang memang tidak punya pekerjaan lain, atau mahasiswa IAIN yang kebetulan merangkap jadi gharim masjid. Mereka diberi honor seadanya ditambah beras dari warga. Keberadaan mereka pun tidak tetap. Akibtnya banyak TPA yang gonta ganti guru dan pengajaran Alquran anak-anak sering terkendala dan sulit berkembang. Sejauh ini mungkin tak cukup 25% dari TPA/TPSA/MDA yang memenuhi standar pendidikan Alquran. Karena itu, mungkin, meski TPA/TPSA/MDA tetap berjalan, namun jarang diantara tamatannya yang bisa tampil menjadi imam masjid atau membaca Alquran secara benar mengikuti tajwid dan irama yang benar. Meski TPA/TPSA/MDA tampak berkembang, namun kenyatannya banyak diantara anak-anak yang tak mampu membaca Alquran. Barangkali karena itu, banyak guru mengaji, gharim dan imam di masjid-masjid, seperti di Kota Padang, datang dari luar kota, antara lain dari Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat atau Sumatera Utara di mana pendidikan Alquran masih berjalan dengan baik. IV. Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Alquran melalui TPA/TPSA/MDA di Sumatera Barat tumbuh dari akar budaya Minang dan berkembang sejak lama. Namun perkembangnya tidak terkoordinasi, tidak terevaluasi dan tidak terukur. Karena itu meski TPA/TPSA/MDA tampak berkembang, namun pengelolaan, standar guru dan mutu lulusannya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Maka, melalui forum ini disarankan perlu dibentuk Badan Koordinasi Pendidikan Alquran mulai dari tinbgkat Nagari/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota sampai ke Provinsi di bawah binaan pemerintah setempat. Badan ini berfungsi menyusun kurikulum, menetapkan standar guru dan merancang metoda pengajaran yang benar, mengevaluasi dan memberi altenatif dan soslusi mengatasi persoalan yang dihadapi TPA/TPSA/MDA sehingga perkem-bangan pendidikan Alquran di daerah ini bisa terukur dan menghasilan lulusan yang memadai. Melalui Badan ini pula tiap nagari dan kabupaten/kota diharapkan bisa disediakan anggaran APB Nagari/Daerah untuk tunjangan guru, bantuan sarana dan fasilitas TPA/TPSA/ MDA. Kepada pejabat Departemen Agama dan jajarannya dihimbau agar penamaan TPA/TPSA/ MDA bisa diseragamkan dan pendataannya dapat dilengkapi dengan laporan analisa kondisi tiap lembaga sehingga dapat dirujuk untuk evaluasi peningkatan mutu pendidikan Alquran di daerah ini. Padang 24 April 2009. Sumber Tulisan : Prof. Mamud Junus, Sejarah Islam di Minangkabu – CV.Alhidayah Jkt, 1971 Afifi Fauzi, Madrasah Darul Funun El Abbasyiah, Padang Japoang,, 2000 Prof. Mahmud Junus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Mutiara Jkt, 1979 Prof. Dr. Ahmad Sjalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj, Bulan Bintang Jkt 1970 Drs. Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Budaya, Pustaka Antara, 1962 Islamic Centre Sumatera Barat, Dua Puluh Ulama Minangkabau, 1982 Pengalaman Membina TPA dan beberapa tulisan di website *) Disampikan pada pembukaan Latihan Guru-guru TPA/TPSA/MDA se Sumatera Barat di Rocky Hotel Padang 23 /25 April 2009.