Minggu, 21 Juli 2013

Lanjutan "orang minang keturunan yahudi"...not try to prove it..artikel ini menarik..itu saja

Apakah kebudayaan Minangkabau dipengaruhi peradaban dari daratan Cina?

Source:http://aswilnazir.com/2012/08/15/benarkah-kebudayaan-minangkabau-berasal-dari-daratan-cina/
 
Pendahuluan
Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (yang maksudnya adalah sama dengan orang Minang itu sendiri).
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.
Jadi suku Minang memiliki perbedaan dengan suku-suku lainnya di Indonesia dalam hal pemahaman garis keturunannya. Minangkabau menganut paham Stelsel serba-ibu (matriachaat-stelsel) sebagai landasan susunan masyarakatnya yang berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu, sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakatnya dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Menurut literatur, paham matrilineal ini dianut oleh suku Indian, Apache Barat, suku Navajo, sebagian besar suku Pueblo, suku Crow yang kesemuanya adalah penduduk asli Amerika Serikat, suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut, suku Nakhi di wilayah Sechuan dan Yunnan, Cina, dan beberapa suku kecil di kepulauan Asia Pasifik. Di Indonesia satu-satunya penganut adat matrilineal adalah suku Minangkabau, Sumatera Barat.
Belum lama ini saya membaca literatur yang menyebutkan bahwa daerah otonomi Guangxi Zhuang, Cina ribuan tahun yang lalu juga menganut paham matrilineal. Suku Zhuang ini menjadi perhatian saya karena budaya masyarakatnya terlihat memiliki sejumlah persamaan dengan masyarakat di Minangkabau.
Namun sebelum kita mengulasnya lebih jauh, mari kita lihat sekilas apa pendapat ahli sejarah seputar asal-usul masyarakat Minangkabau (bahasan yang lebih detil dapat dibaca di blog saya, http://aswilnazir.com/2012/08/08/menyoal-asal-nenek-moyang-penduduk-minangkabau).

Asal-usul Suku Minangkabau menurut ahli Sejarah
Pada ekskavasi arkeologis yang dilakukan di situs megalitik Ronah, Bawah Parit, Belubus berhasil ditemukan rangka manusia dari penggalian menhir di lokasi tersebut. Jenis rangka manusia tersebut dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid (Boedisampurno 1991: 41), yang mengandung unsur Austromelanesoid yang diperkirakan hidup 2000-3000 tahun lalu (Aziz 1999). Menurut Kern dan Heine Geldern, seperti yang dikutip Soekmono (1973), migrasi ras Mongoloid dari daratan Asia ke Nusantara telah berlangsung dalam dua gelombang besar. Gelombang pertama mulai pada masa neolitikum yang membawa budaya kapak bersegi terjadi sekitar 2000 SM yang oleh para ahli digolongkan sebagai kelompok Melayu Tua (Proto Melayu), sementara itu gelombang kedua muncul pada zaman logam yang membawa kebudayaan Dongson yang dimulai 500 SM, digolongkan sebagai kelompok Melayu Muda (Deutro Melayu). Soekmono mengatakan bahwa pada zaman logam ini disamping kebudayaan logam, juga dibawa kebudayaan megalitik (kebudayaan yang menghasilkan bangunan dari batu-batu besar) sebagai cabang kebudayaan Dongson (Soekmono 1973).
(Dongson adalah nama tempat di selatan Hanoi yang dianggap sebagai asal kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Konon kebudayaan Dongson ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hallstatt, Austria).
Tampaknya kebudayaan ini dikembangkan oleh ras Mongoloid yang berpangkalan di Indo China dan berkembang dengan pesatnya di zaman Megalitikum dan zaman Hindu. Nenek moyang orang Minangkabau itu datang dari daratan Indo China terus mengarungi Lautan Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian memudiki Sungai Kampar, Siak dan Indragiri. Sebagian diantaranya mengembangkan kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten Limapuluh Kota sekarang. Dengan ditemukannya rangka manusia tersebut telah memperkuat teori bahwa telah terjadi migrasi ras Melayu Purba (yang berbahasa Austronesia) ke Sumatera, terutama Sumatera bagian Tengah.
Berdasarkan pendapat diatas, barangkali kita sepakat bahwa nenek moyang bangsa Minangkabau berasal dari daratan Asia, yang telah datang ke wilayah ini mulai sejak zaman pra-sejarah dapat digolongkan ke dalam Melayu Muda (Deutro Melayu).

Apakah benar leluhur suku Minangkabau berasal dari Cina?
Pertanyaan diatas sebenarnya sudah cukup lama tersimpan dalam hati saya, namun belum juga terjawab hingga detik ini. Sejumlah literatur dan diskusi di forum-forum elektronik yang mengulas soal sejarah dan asal-usul leluhur orang Minangkabau rata-rata hanya berujung kepada debat kusir tanpa kesimpulan yang meyakinkan.
Dalam kenyataannya dewasa ini, adat dan budaya suku Minangkabau banyak persamaannya dengan Cina, terutama dengan suku Zhuang dari Yunnan, yang juga terkenal sebagai suku tanduk kerbau. Beberapa pakaian mereka mirip dengan orang Minang, begitu juga paham garis keturunannya yang matrilinial.
Ketika saya berkunjung ke kota Guilin dan Yangshuo yang terletak di timur laut kawasan Guangxi Zhuang beberapa waktu yang lalu, memang ditemui sejumlah persamaan budaya antara Minangkabau dan Cina. Dalam perjalanan menuju desa Longji PingAn yeng terkenal sebagai “rice terraces”, kami melewati Sangjiang County yang masyarakatnya menghormati kerbau.  Malah di halaman sebuah shopping mall di kota tersebut kami melihat patung dua kerbau yang berhadapan dengan posisi saling menanduk. Saya pikir, agak mirip dengan masyarakat Minangkabau jaman dulu yang menggunakan kerbau sebagai simbol masyarakatnya.
Patung kerbau yang saling menanduk ini ditemui di Sangjiang County, Cina. Masyarakat Zhuang disini masih menganut kepercayaan yang menghormati kerbau.
Di desa Longji kami cukup surprise ketika melihat betapa penduduk setempat menggunakan tabung bambu untuk memasak (persisnya membakar) nasi lemak dengan dicampur daging. Pola memasak dengan menggunakan tabung bambu ini sangat mirip dengan cara pembuatan lemang (dari beras ketan) yang terkenal sebagai makanan khas Minang yang biasanya dicampur dengan tapai.
Dalam hal berpakaian, ditemui beberapa kemiripan seperti tutup kepala wanita yang di Minang disebut dengan tikuluak, memiliki persamaan dengan tutup kepala di beberapa suku di Cina dan sunting di kepala pengantin wanitanya. Demikian pula dengan pakaian adat pria pria suku Zhuang (dan juga suku minoritas Dong) yang berwarna hitam terlihat mirip dengan pakaian adat pria Minang (misalnya pakaian pemain randai – semacam pencak silat khas Minang).
Rumah-rumah tradisional suku Dong dan Yao di sekitar Dong Village dan Longji yang kami temui merupakan rumah panggung (memiliki ruang kosong di bawah lantai dasar) sebagaimana halnya rumah gadang di Minangkabau. Bedanya, atap rumah di Cina tidak berbentuk tanduk kerbau seperti yang kita lihat pada rumah adat Minangkabau.
Dalam hal bercocok tanam pun terlihat adanya kesamaan. Para petani yang kami lihat di sepanjang perjalanan membajak sawah dengan bantuan kerbau, persis seperti yang dilakukan para petani di Minang.




Teori Oppenheimer: Sundaland adalah pusat peradaban di penghujung Zaman Es.
Saya nyaris mengambil kesimpulan bahwa mungkin benar kalau dikatakan nenek moyang suku bangsa Minangkabau berasal dari Cina (yang oleh ahli sejarah disebut dengan kebudayaan Dongson). Tetapi dengan munculnya teori kontroversial dari Oppenheimer, saya jadi berpikir ulang.
Dalam bukunya Eden in The East, Professor Stephen Oppenheimer, seorang peneliti dan pakar genetika dari Universitas Oxford di Inggris mengisahkan bahwa Indonesia dan sekitarnya pernah menjadi benua dan tempat peradaban manusia di penghujung Zaman Es. Benua ini disebutnya dengan istilah Sundaland. Dalam buku tersebut, Oppenheimer seolah memutar balik sejarah dunia. Bila selama ini sejarah mencatat bahwa induk peradaban manusia modern itu berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia, maka Oppenheimer punya tesis sendiri.
Buku Eden in the East merupakan hasil penelitian Oppenheimer selama bertahun-tahun yang dilakukannya di berbagai negara. Benua Sundaland yang disebut oleh Oppenheimer tentu saja tidak bisa dibayangkan seperti bentuk wilayah ASEAN saat ini yang terdiri dari Indonesia, Semenanjung Malaysia dan Laut China Selatan. Wilayah ini dulunya masih menjadi satu, yaitu Sundaland. Sebagian arkeolog percaya pada bukti-bukti yang dikemukakan Oppenheimer, sementara sejumlah arkeolog yang tetap yakin bahwa orang Indonesia berasal dari Taiwan.
Tapi belakangan ini sejumlah arkeolog juga menunjukkan bukti betapa keterampilan lokal, seperti berlayar dan menangkap ikan, telah ada sepuluh ribu tahun lalu, dan bercocok tanam di Indonesia sudah ada lebih dari empat ribu tahun lalu.
Sejenak kita tinggalkan Oppenheimer dan menyimak temuan perihal permainan layang-layang yang selama ini disebut berasal dari Cina.
Ternyata permainan layang-layang (kaghati) oleh nenek moyang masyarakat pulau Muna, Sulawesi Tenggara telah dilakukan sejak 4 ribu tahun lalu. Hal ini berdasarkan penelitian Wolfgong Bick tahun 1997 di Muna. Wolfgong Bick berasal dari Jerman dan merupakan salah seorang Counsultant of Kite Aerial Photography Scientific Use of Kite Aerial Photography. Awal penelitiannya dilatarbelakangi saat Festival Layang-Layang Dunia di Prancis tahun 1997. Saat itu layangan Kaghati Kolope dari Indonesia tampil sebagai juara mengalahkan Jerman. Hal ini membuatnya berkeinginan menelusuri keunikan Kaghati Kolope dan mengantarkannya ke Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Tepatnya di Gua Sugi Patani, Desa Liang kobori sekitar 8 km dari Raha, ibu kota Pulau Muna. Gua ini berada di sebuah bukit setinggi 80 meter dengan kemiringan 90 derajat.
Dalam penelitiannya Wolfgong Bick melihat sendiri lukisan tangan manusia yang menggambarkan layang-layang di dalam Gua Sugi Patani, Desa Liangkobori. Di situs prasejarah tersebut tergambar seseorang sedang bermain layang-layang di dinding batunya dengan menggunakan tinta warna merah dari oker (campuran tanah liat dengan getah pohon). Gambar itu sudah dicoba untuk dihapus tetapi tidak bisa.
Penemuan lukisan di Gua Sugi Patani dikatakan Wolfgong Bick telah mematahkan klaim bahwa layangan pertama berasal dari China pada 2.400 tahun lalu. Layangan yang ditemukan di China menggunakan bahan kain parasut dan batang almunium. Sementara layangan dari Pulau Muna terbuat dari bahan alam dan telah menjadi bagian kehidupan masyarakatnya. Bick meyakini, layangan pertama di dunia berasal dari Muna, bukan dari China.
Kini kita kembali membahas teori Oppenheimer. Benua ini menurut Oppenheimer ada pada sekitar 14.000 tahun yang silam, sudah didiami oleh manusia. Menurut Oppenheimer, dari 14.000 tahun lalu itulah Zaman Es mulai berakhir. Oppenheimer menyebutnya sebagai banjir besar. Masih menurut Oppenheimer, banjir ini tidak terjadi secara mendadak, melainkan naik perlahan-lahan.
Dalam periode banjir pertama, air laut naik sampai 50 meter. Ini terjadi dalam 3.000 tahun. Separuh daratan yang menghubungkan China dengan Kalimantan, terendam air. Lalu terjadilah banjir kedua pada 11.000 tahun lalu. Air laut naik lagi 30 meter selama 2.500 tahun. Semenanjung Malaysia masih menempel dengan Sumatera. Namun Jawa dan Kalimantan sudah terpisah. Laut China Selatan mulai membentuk seperti yang ada hari ini. Berikutnya terjadi banjir ketiga pada 8.500 tahun lalu. Benua Sundaland akhirnya tenggelam sepenuhnya karena air naik lagi 20 meter. Terbentuklah jajaran pulau-pulau Indonesia, dan Semenanjung Malaysia terpisah dengan Nusantara.
Kenaikan kenaikan air laut ini sangat berpengaruh kepada seluruh manusia penghuni Sundaland. Mereka pun terpaksa berimigrasi, menyebar ke seluruh dunia termasuk ke India dan Cina.
Boleh jadi di kemudian hari keturunan para imigran di Cina tersebut berlayar kembali ke selatan dan mendarat di Sundaland yang tentunya saja benuanya telah berubah, yang notabene merupakan tanah asal leluhur mereka. Salah satu lokasi domisili mereka adalah tanah Minangkabau selain Aceh, dan Sumatera bagian selatan serta Sumatera Utara.
Belum lama ini saya memperoleh informasi bahwa ada kepercayaan dalam masyarakat Batak bahwa nenek moyang mereka berasal dari suku asli di Formosa (Taiwan) yg diyakini menyebar ke Selatan melalui Filipina (sebagian menetap jadi suku Tagalog), Sulawesi (menjadi suku Toraja), Lombok (suku Sasak), lalu ke Sumatera (suku asli Lampung?) dan kemudian sampai di daerah Tapanuli. Ini dibuktikan melalui kesamaan kebudayaan, termasuk bentuk kesenian dan bahasa yg digunakan hingga sekarang.
Lalu kita coba lihat betapa wajah dan kulit orang Palembang, Jambi dan Bengkulu yang sangat mirip dengan orang Cina. Demikian pula sunting pengantin mereka yang ada kemiripannya dengan hiasan kepala pengantin wanita Cina seperti di Zhuang dan Yao.
Sebagai manusia yang dilengkapi Allah dengan akal dan pikiran, fakta-fakta diatas rasanya cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa anak bangsa Indonesia ini setidaknya penduduk asli Sumatera dan Indonesia bagian tengah adalah keturunan  bangsa Cina, alias nenek moyangnya sama. Sehingga dengan demikian apakah masih layak kalau kita selalu ribut dan membuat dikotomi antara penduduk Indonesia dan bangsa pendatang seperti Cina? Jangan-jangan mereka yang menuding orang lain sebagai keturunan Cina juga berasal dari keturunan yang sama, tanpa disadarinya. Wallahualam.
Kebetulan esok hari kita akan memperingati hari bersejarah bangsa ini, hari kemerdekaan Indonesia yang telah melepaskan diri dari penjajahan kolonial Belanda 67 tahun yang silam. Maka sudah selayaknya kita menyongsong masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik, yang demokratis, plural dan bhinneka tunggal ika dengan semangat optimisme serta kebersamaan.
Merdeka!!!

Sumber informasi:
  • Sejumlah artikel, diskusi elektronik dan foto-foto di Internet
  • Sejarah Minangkabau, Drs. M.D. Mansoer dkk, Bhratara, 1970
  • Nadra, Daerah Pertama Yang Didiami oleh Orang Minangkabau Berdasarkan Bukti Linguistis: Kajian Awal, 1999
  • http://blogs.itb.ac.id/iban/2012/01/31/sundaland-part-2/

Tidak ada komentar: