TUGAS SOSIOLOGI PEDESAAN DAN KOTA
GEMA PUTRI
07 162 006
Pluralitas dalam Kehidupan
Bermasyarakat yang Beradab dan Bermartabat
Pendahuluan
Masyarakat majemuk atau masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya dan agama. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu (Asykuri, dkk., 2002:107)
Pluralitas baru bermakna positif bila ada interaksi dan relasi saling percaya antara sesama (social-trust) . Hal itu merupakan prasyarat untuk terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat . Yaitu masyarakat yang memiliki moral, akhlak, etika, budi luhur, santun, sabar dan arif, menghormati hak asasi, menghormati diri sendiri dan orang lain, bangsa sendiri dan bangsa lain, suku dan kelompok sendiri dan suku serta kelompok lain. Dengan begitu upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal untuk menjadi lebih sejahtera, berkeadilan dan berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat itu dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk maksud tersebut diperlukan infra struktur harmonisasi sosial dalam kehidupan bersama. Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya primitif, keterbelakangan dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama.
Tulisan berikut mencoba mendiskripsikan dan menganalisis secara terbatas , pertama, tentang hubungan perguruan tingi dengan tranformasi sosial-budaya. Kedua, wacana dalam menjawab pertanyaan tentang apa yang menjadi intelectual mind-set atau pemahaman intelektual tentang pluralitas dalam kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat.
Perguruan Tinggi dan Transformasi Sosial-Budaya
Salah satu tanggungjawab kaum intelegensia (Hatta, 1956: 1-12) adalah menjadi agen perubahan masyarakat atau transformasi sosial dan budaya. Oleh karena itu apa yang menjadi titik perhatian bangsa yang terus menerus menjadi concern (kepedulian) masa kini dan masa depan, menjadi relevan untuk ditranformasikan di dalam dunia pendidikan, apalagi pendidikan tinggi. Sejak beberapa waktu yang lalu, langkah ini di antaranya direalisasikan melalui komponen kurikulum Masyarakat Berkehidupan Bersama (MBB) dalam mata kuliah Ilmu Sosial, Budaya Dasar (ISBD).
Sebagai transformator, perguruan tinggi menjadi amat strategis dan penting karena pada saatnya alumni perguruan tinggi dalam berbagai stratanya akan menjadi subyek dominan untuk menggeluti kehidupan bangsa saat ini dan ke masa depan. Dalam bahasa lain perguruan tinggi adalah alat perjuangan bangsa dan alat pencerdas bangsa (T.Jacob, Mandiri Sianipar, 1984: 218). Lebih-lebih lagi pada dekade terakhir ini, dilihat dari substansi implikatifnya, tugas perguruan tinggi amat signifikan. Di antaranya untuk mengantisipasi gejala bangsa yang semakin rentan (fragile) konflik. Begitu pula makin menggejalanya cara pandang dan koridor pemikiran sebagian masyarakat yang cendrung menyempit. Bahkan ada kecendrungan klaim kebenaran menjadi milik dan monopoli golongan, kelompok dan aliran. Parahnya, klaim kebenaran bukan terbatas sebagai milik sendiri dan kelompok tetapi ingin diyakinkan kepada pihak lain dengan berbagai cara yang kadang-kadang tidak bijak.
Maka secara kasat mata terlihat bahwa di mana-mana potensi konflik muncul. Baik konflik horisontal maupun vertikal. Serta-merta dengan sebab yang amat ringan dan tanpa disangka menimbulkan gesekan, adu fisik, mass-riot atau huru-hara massal. Untuk menghindari itu, maka pemahaman pluralisme melalui pendidikan, merupakan keharusan dan bukan sekedar menjalankan keputusan formal otoritas pendidikan.
Lebih dari itu harus merupakan usaha sadar yang sistematik. Perlu ditumbuhkembangkan kesadaran pluralitas kehidupan bremasyarakat berkeadaban dan bermartabat terhadap kelompok-kelompok yang ada di dalam masyakat. Bukan hanya untuk menjaga harmoni sosial tetapi juga meningkatkan kualitas dan daya saing masing-masing kelompok yang dinamis dan damai. Usaha kolektif untuk menuju kehidupan yang lebih baik dijalankan melalui sebuah kompetisi antarkelompok dengan aturan main yang dapat dipahami. Kesadaran peluralisme masyarakat, dengan demikian diharapkan dapat menghindarkan pecahnya konflik antarkelompok setiap kali terjadi persaingan di dalamnya .
Berkeadaban dan Bermartabat
Cita-cita masyarakat utama yang berakhlak mulia dan bermarbat, begitu luhurnya sehingga menjadi titik sentral misi kenabian dan kerasulan Muhammad saw. “Sesungguhnya aku diutus oleh Allah swt ke permukaan bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia menjadi lebih mulia (HR.Mutafaqun alaih). Pejuang-pejuang kebangsaan Indonesia sejak dari masa klasik sampai moderen Sultan Hasanudin, Imam Bonjol, Diponegoro sampai ke Agus Salim, Mohammad Natsir dan Mohammat Hatta samapai ke tokoh bangsa lain seperti Benyamin Franklin, semua mereka mempelajari dan mempraktekkan budaya jujur, adil, arif-bijaksana, diam itu emas (tidak gembar-gembor), tertib (disiplin), tenang, teguh hati, hemat, rajin, moderat, bersih (sehat), hidup murni dan rendah hari. Ketigabelas budaya beradab tersebut dipraktekkan dengan pengalaman jatuh-bangun untuk membangun diri dan bangsa menjadi insan beradab, bermartabat dan terhormat. Transformasi berkeadaban dan bermartabat itu harus dilakukan melalui interaksi yang santun dan dialog yang produktif dalam masyarakat yang plural. Dimulai dari pemahaman peorangan, keluarga dan warga masyarakat tentang perlunya cinta-kasih antara sesama; memupuk reasa keindahan; empati dalam penderitaan dan kegelisahan orang lain; menghormati hukum dan keadilan, memiliki padangan positif untuk hidup bersama; mempunyai tanggungjawab dalam pengabdian; dan memiliki harapan yang optimis dalam kehidupan (M Habid Mustopo, 1983: 89-274).
Kata beradab dan bermartabat, sejatinya tidaklah terbatas sebagai inti kualitas dan kapasitas manusia serta masyarakat yang berbudi luhur. Lebih jauh adalah menyangkut pula makna kebudayaan dan sistem kehidupan yang lebih luas. Koentjaraningrat (1974: 20) mengatakan :
Istilah peradaban dapat disejajarkan dengan kata asing civilization. Istilah itu biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah, seperti : kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat yang kompleks. Sering juga dipakai istilah peradaban itu untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.
Manusia berperadaban dan bermartabat dengan demikian diharapkan dapat mensinerjikan antara suasana dan format bathin yang luhur dengan kreatifitas imaginasi yang tinggi dalam melahirkan karya tinggi serta menempatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pada posisi yang tinggi pula. Mesin-mesin tidak hanya menyebabkan manusia bisa terbang, menyelam, melihat dan mendengar dari jarak jauh, membangun gedung-gedung pencakar langit, tetapi juga mengembangkan manusia itu sendiri (Weston La Barre, Parsudi Suparlan, 1984:19). Artinya, betapa tinggi penguassan ilmu dan teknologi, kalau digunakan untuk menghasilkan mesin-mesin perang pembunuh massal, menciptakan perang dan teror di mana-mana, maka hal itu tidaklah dapat dikatakan karya manusia yang beradab dan bermartabat
Dari sejarahnya, masyarakat Indonesia yang beradab dan bermartabat sudah pernah lahir sebagai kekuatan dunia dalam kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Kesultanan-kesultanan Islam sejak abad ke-9 sampai abad ke-15. Realitas sejarah mengesankan kepada generasi sekarang, bahwa bobot dan kualitas berkeadaban dan bermartabat itu, lahir dari rahim masyarakat yang majemuk, plural dan berbeda-beda serta beragam-ragam. Memasuki abad ke-20, paling tidak, ada tiga karakter diskursus tentang trend (arah) pemahaman kolosal masyarakat Indonesia tentang dirinya yang pluralis, beradab dan bermartabat yang selalu didengungkan sejak pra, pada dan pasca kemerdekaan.
Ketiganya dapat dielaborasi menurut watak awal yang asli sosio-klutural-ideologis; keterkaitan dengan politik dan demokrasi dalam kecendrungan globalisme; dan keterkaitan dengan agama-agama. Dengan begitu, maka kosa kata dan moto kemajemukan, bhinneka tunggal ika atau unity in diversity dan pluralitas dalam berkehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat perlu dikaji lebih dalam.
Watak Pluralitas
Secara umum pandangan dunia atau world-view bangsa ini terhadap dirinya tentang kemajemukan (pluralitas) dapat didiskripsikan dalam stream-line (arus utama) menurut awal kelahiran bangsa, masa pertumbuhan dan masa perkembangan ke depan . Baik secara sosio-kultural, sosio-politik dan sosio-religius. Secara ringkas, dapat ditelusuri menurut periodikal sejarah yang dikategorikan sebabagai watak kultural, aslinya pada masa awal kelahiran bangsa, zaman revolusi dan awal kemerdekaan (1928-1959); watak politik dan kekuasaan (1959-1990); serta watak reformasi, priode sekarang dan ke depan .
Karakter Pertama, watak majemuk secara sosio-kultural aslinya. Masyarakat Indonesia adalah terdiri atas bangsa yang bersuku-suku dengan cara hidup bermasyarakat dan berbudaya, adat istiadat serta 300 lebih dialek lokal, hidup di atas lebih kurang 17 ribu pulau-pulau yang membentang dari Sabang ke Merauke, dari Zulu ke Pulau Rote yang pernah dijarah Portugis, Spanyol, Inggris dan dijajah Belanda, dan terakhir Jepang sejak abad ke 16 sampai pertengahan abad ke-20. Jauh sebelumnya telah berdiri kerajaan Sriwijaya, Mojopahit dan kerajaan Mataram serta kesultanan-kesultanan di berbagai wilayah nusantara. Secara historikal oleh Koentjaraningrat (1979 : 21-34) kemajemukan Indonesia menerima pengaruh dari kebudayaan Hindu, Islam dan Eropa di masa lalu. Akan tetapi di abad ke-20, dalam kemajemukan dan perbedaan-perbedaan itu masyarakat yang belum menjadi satu bangsa itu mempunyai tekad untuk bersatu dengan dikumandangkannya tekad Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Tekad itu pula yang mengantarkan bangsa ini menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada masa awal, istilah kemajemukan merupakan kosa kata murni dalam mengatakan kebermacaman atau keberagaman bangsa Indonesia. Lalu dicanangkan motto bhinneka tungal ika: masyarakat majemuk tetapi tetap bersatu atau unity in diversity. Motivasi apolikasi kosa kata itu datang dari dalam diri masyarakat dan bangsa Indonesia sendiri. Katrakanlah, bahwa pluralisme berakar dari ideologi dan sosio-kulktralnya sendiri.
Karakter kedua, watak sosio-politik dan kekuasaan. Setelah era proklamasi bangsa ini mencitrakan diri sebagai bangsa majemuk untuk mengisi kemerdekaan dengan mengikuti cara-cara demokrasi politik liberalisme Barat. Di sini dimulai pengaruh kultur politik kosmo-globalisme dimulai. Dengan dikeluarkannya Maklumat Presiden No X, 16 Oktober 1945 yang intinya mengubah sistem pemerintahan Presidentil ke Parlementer dan Maklumat Presiden 3 November 1945 tentang kesempatan rakyat mendirikan partai-partai, merupakan awal pluralitas-politik yang syah. Dengan begitu maka niat monolitik Soekarno yang hanya akan menggiring PNI sebagai satu-satunya partai politik, berubah kepada dibolehkannya hidup banyak partai. Kehidupan multi partaipun dimulai. Dengan demikian pluralitas politik dihalalkan, hanya dengan satu restriksi, bahwa partai jangan hanya asal berdiri saja melainkan turut memperjuangkan keikaan yaitu turut memperjuangkan kepentingan rakyat banyak: “mempertahankan kemerdekaan “ dan “memperjuangkan keamanan rakyat” (Deliar Noer, 1990 : 284-289). Mungkin kebebasan itu secara teoritikal adalah baik. Akan tetapi karena para pemimpin dan masyarakat politik pada masa itu ditambah rakyat yang belum terdidik secara memadai maka kebebasan multi partai itu tidak membawa keuntungan amat berarti dalam perkembangan bangsa. Keadaan itu telah membawa ketidak stabilan pemerintah dengan berganti-gantinya kabinet. Lebih dari itu Soekarno yang merasa jabatan Presiden hanya sebagai simbol negara, ingin mendominasi kekuasaan. Puncaknya adalah mundurnya Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden th 1956 (Ibid, 482). Kemudian berturut-turut dibubarkannya Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan membubarkan dirinya Partai Masyumi pada 1959 dan pembubaran resminya oleh Presiden th. 1960. Selanjutnya kehidupan nasional didominasi oleh jargon Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis). Nasakom waktu itu merupakan soko guru Soekarno sebagai tri-tunggal politik nasionalis yang citrakan sebagai PNI, Islamis yang dicitrakan NU dan Komunis dan sosialis yang dicitrakan sebagai PKI . Dengan segala resikonya, moto bhinneka tunggal ika sudah dikerdilkan dari plate-form politik.
Keadaan serupa dengan substansi yang berbeda terjadi pada masa Orde Baru. Ketika Masyumi ingin dihidupkan kembali oleh para pemimpinnya yang baru keluar dari penjara Orla seperti M. Natsir, M. Rum, Kasman Singodimejo dan lain-lain, partai itu tidak dibenarkan menamakan diri Masyumi dan harus yang memegang pucuk pimpinan partai yang menampung eks Masyumi itu bukan tokoh lama. Maka lahirlah Parmusi yang dipimpin Djarnawi Hadikusuma yang belangan terlalu dekat dengan kelompok mantan tokoh masyumi lalu digantikan oleh tokoh yang dianggap lebih dekat dengan Orba seperti Mintareja dan kemudian J. Naro. Episoda berikutnya pada pentas politik nasional awal Orba itu terdapat 9 partai, termasuk Parmusi dan 1 Golkar. Belakangan kecuali Golkar, 9 partai tadi dilikwidasi (istilah waktu itu fusi) menjadi 2 Partai Politik: PPP dan PDI, pada th 1973 (Sahar L. Hasan, Ed. 1998: 15). Sejak itu di Indonesia hanya terdapat 2 Parpol dan 1 Golkar yang menjalankan fungsi kekuatan resmi sebagai infra struktur politik. Dengan 3 kekuatan politik itu, pluralitas politik pada dekade awal Orde Baru itu secara relatif masih ada termasuk masih dibolehkannya 2 parpol tadi berasaskan idelogi Islam dan Nasionalisme, sementara Golkar tetap dengan ideologi Pancasilanya. Belakangan terjadi perubahan total. Dengan alasan politik sebagai panglima dan keragaman idelogi telah merusak tatanan bangsa pada masa Orla, maka keragaman atau pluralitas ideologi harus dilenyapkan. Kemauan itu terealisasikan dengan disyahkannya UU No. 3 tentang Parpol, th 1975 dan UU No. 5 tentang Ormas th. 1985, diwajibkannya asas tunggal sebagai ideologi dasar dan asas Parpol dan Ormas. Upaya pengasastunggalkan itu juga didasari dengan alasan-alasan kepentingan integrasi nasional, perlunya cara pandang kesatuan udara, laut dan darat sebagai satu kesatuan dan perlunya cara pandang berwawasan nusantara (Sutopo Yuwono, Alfian, Ed, 1985 : 83-95). Dengan begitu maka pluralitas ideologi sudah terkubur.
Selain itu, pluralitas sosial budaya yang pada masa pra dan awal kemerdekaan hingga masa akhir masa Orla masih berkembang simultan dan agak proporsional, berubah secara signifikan. Bahasa Indonesia yang terdiri dari Bahasa Melayu ditambah bahasa daerah lainnya dan Bahasa Asing, terkooptasi dengan kosa kata dan istilah-istilah Jawa dan Sanskerta. Sekedar menyebut contoh, muncullah istilah Parasamya Purnakarya Nugraha untuk anugrah pembangunan. Binagraha untuk kantor Presiden dan sebagainya. Watak pluralitas tidak lagi teraplikasikan dalam kehidupan bangsa secara berimbang tetapi telah terkooptasi oleh satu budaya suku bangsa mayoritas yang memegang tampuk kekuasaan.
Karakter ketiga, pluralitas agama secara sosiologis . Dalam rentangan waktu, diskursus pluralitas agama secara sosiologis, tidaklah terkait secara padu dengan kenyataan reformasi politik di Indonesia dengan jatuhnya Soeharto 21 Mei 1998. Karena, pada dasarnya diskursus pluralitas agama sudah jauh ada sejak masa awal Orde Baru terutama dalam hubungan Islam dan Kristen. Tetapi karena watak Orde Baru kala itu yang selalu merujuk kepada kestabilan pembangunan sehingga melahirkan trilogi pembangunan yang disebut: stabilitas keamanan; pertumbuhan ekonomi dan; pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, maka setiap gejala yang mengedepankan diskursus tentang pluralitas agama selalu dikaitkan dengan kewaspadaan yang akan mengganggu kepentingan nasional. Maka setiap yang berbau intrik suku, agama dan hubungan antara golongan (SARA) yang bersifat primordialistik, selalu ditekan.
Khusus hubungan antar agama , pemerintah mempunyai kredo yang disebut tri-krukunan hidup antar pemeluk agama. Ketiganya adalah kerukunan hidup internal umat beragama; kerukunan hidup antara umat berlainan (eksternal) agama; dan kerukunan hidup pemeluk dan organisasi agama dengan pemerintah. Hasilnya, pada masa itu, meskipun ada gangguan misalnya pelecehan tempat ibadah agama tertentu oleh pihak lain sehingga menimbulkan kerusuhan, tidaklah akan berlangsung lama dan traumatis. Pihak keamanan dan berwajib cepat memadamkannya.
Pada dekade akhir Orde Baru, formula dan keran kebebasan semakin terbuka. Setelah masa reformasi keran yang semakin terbuka tadi itu bahkan memberikan kebebasan yang amat sangat. Sebagian ada yang mengatakan kebebasan yang kebablasan. Maka wilayah yang selama ini amat sensitif seperti SARA di masa orde baru, sudah tidak lagi tabu untuk publikasi dan diwancanakan di mana-mana. Maka wacana hubungan antar umat beragama amat intensif dikaji dalam berbagai istilah pluralitas agama. Pada dasarnya, agama secara sosiologis dipandang sebagai sesuatu yang given dan sunnatullah memang beragam-ragam dan berbeda-beda (Tobroni-Syamsul Arifin, 1994: 33-34). Akan tetapi, sebagai mana nanti akan disinggung, pluralitas agama akan mengalami multi-tafsir dan pada gilirannya ada yang menganggap sebagai sumber gesekan dan sengketa dalam masyarakat.
Pluralitas Agama
Di Indonesia sejak awal kemerdekaan, agama yang dinyatakan resmi adalah Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan sejak pemerintahan Gus Dur ditambah dengan Kong Hu Cu (Konfusionisme). Di kalangan pemeluk agama, secara umum pandangan dan pemahaman eksistensi masing-masing agama dalam kaitan kehidupan bersama dalam bermasyarakat dapat diterima. Tentu saja dengan segala resiko kepelbagaian dan keberagaman atau kemajemukan Inilah yang di dalam tulisan ini disebut sebagai pluralitas sosiolo-kultural agama. Yang dimaksud adalah perbedaan kelompok, suku, bahasa, budaya dan adat-istiadat, serta agama yang dianut.
Pengakuan formal oleh negara telah diakomodasikan di dalam struktur Departemen Agama dengan diformasikannya dalam struktur organik Direktorat Jenderal masing-masing agama tadi. Dengan demikian, baik secara formal maupun informal, kenyataan bahwa kehadiran agama-agama secara sosiologis dan supra struktur pemerintahan dapat diterima sebagai sebagai hal yang syah. Kalangan Islam merujuk pluralitas sosiologis itu dari pedoman pokoknya al-Qur’an. Oleh mayoritas kalangan Islam pluralitas sosiologi itu diterima sebagai sesuatu yang murni. Inilah yang dirujuk kepada QS.49:13 . Perbedaaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebagai kenyataan positif dan itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah(QS, 30:22). Kemajemukan dan perbedaan cara pandang di antara manusia tidak perlu menimbulkan kegusaran tetapi hendaklah dipahami sebagai pangkal tolak dorongan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan . Tuhanlah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika kita kembali kepada-Nya (QS, 5:48).
Di dalam kenyataan kehidupan pluralitas sosio-kultural itu ternyata telah menimbulkan berbagai pengalaman empirik yang berbeda-beda pula pada setiap bangsa, kawasan, ethnik dan kelompok. Agama yang pada mulanya diterima dalam batas sosio-kultural tadi ternyata dalam implikasi pengalaman-pengalaman itu, kadang kala berubah menjadi faktor yang berkelindan dengan fanatisme sosio kultural lainnya seperti sosio-politik, sosio-ekonomi. Rumitnya pada waktu wilayah kepentingan pribadi dan kelompok dimasuki oleh provokator untuk kepentingan sesaat seperti politik-kekuasaan dan kemauan untuk menghegemoni kelompok lain, resiko konflik menjadi lebih besar. Maka agama menjadi rawan bukan saja menjadi potensi integrasi tetapi dapat menjadi potensi konflik terbuka. Disinilah agama sebagai unsur pluralitas masyarakat dianggap dapat menjadi faktor ancaman bagi kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat.
Akan tetapi apakah kondisi itu murni hanya karena kecemburuan sosiologis? Pertanyaan ini hendak dijawab oleh para peneliti dengan mengkaji kemungkinan adanya pontensi konflik lain yang lebih signifikan. Misalnya adakah potensi konflik itu berdasarkan konsep teologis atau cara masyarakat beragama dalam menerapkan akidah-tauhidnya? Pertanyaan ini menjadi relevan dikaitkan dengan tiga sikap dalam teologi agama-agama sebagai watak pluralitas yang disebut dengan ekslusifisme, inklusfisme dan paralelisme (Budhy Munawar-Rachman, 2001: 44-52).
Pertama, sikap ekslusif. Sikap yang menganggap tidak ada kebenaran dan jalan keselamatan selain agamanya sendiri. Atau dengan ungkapan lain tidak ada agama yang benar selain agamanya sendiri. Sikap seperti ini ternyata ada di dalam pemeluk berbagai agama. Di kalangan penganut Nashrani, Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan . “ Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes, 14:6). Ayat ini dalam persepktif orang yang bersikap ekslusif sering dibaca secara literal. Ungkapan lain, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain Dia”, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain. Maka terkenallah istilah No other name yang menyelamatkan manusia (Kisah Para Rasul 4, 12). Dengan istilah itu disimbolkan tidak adanya keselamtan di luar Yesus Kristus. Sejalan dengan itu ada pula pandangan ekslusif lain sejak abad pertama oleh Gereja yang dirumuskan sebagai extra ecclesiam nullau salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) dan extra ecclesiam nullus propheta (tidak ada nabi di luar Gereja). Pandangan ini pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Paradigma ekslusif itu, sampai sekarang selalu menjadi pegangan oleh para penganut garis keras para penginjil . Di antara penginjil Protestan yang menganut paradigma ini adalah Karl Bath dan Hendrick Kraemer. Nama yang kedua ini bahkan menulis buku The Christian Message in Non-Christian World mengatakan “Tuhan telah mewahyukan jalan, kehidupan dan kebenaran dalam Yesus Kristus dan menghendaki ini diketahui di seluruh dunia” (Ibid, 45).
Sikap ekslusifisme dianggap para pengkaji pluralisme agama juga ada dari kalangan Islam. Beberapa ayat al-Qur’an oleh para pengkaji itu dapat pula dianggap sebagai rujukan kaum muslimin yang membawa kepada sikap eksklusif . Di antaranya adalah QS.5/Al-Maidah:3; 3/Ali-Imran: 85 ; dan 3/Ali Imran :19. “Hari ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-cukupkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu”; … Barang siapa menerima agama selain Islam maka tidaklah akan diterima dan pada hari akhirat ia termasuk golongan yang rugi”. …” Sungguh, agama pada sisi Allah adalah Islam”.
Kedua, sikap Inklusif. Sikap ini bersumber kepada dokumen Konsili Vatikan II 1965 yang mempengaruhi komunitas Katolik. Produk Konsili itu yang berkaitan dengan agama lain ada pada “Deklarasi Hubungan Gereja dan Agama-agama Non Kristiani (Nostra Aetate) . Teolog penganut pandangan ini adalah Karl Rahner ( Ibid, 46). Ia mengatakan bahwa orang-orang Non-Kristiani juga akan selamat sejauh mereka didup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan, karena kaarya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum pernah mendengar Kabar Baik (Kristen). Rahner menyebutkan sebagai sikap inklusif berdasarkan the Anonymous Christian (Kristen anonim). Sikap ini disebutkan oleh para kritikus pluralis sebagai membaca agama lain dengan kacamata agama sendiri.
Dalam hal seperti ini, sikap inklusif dalam Islam tampaknya dapat merujuk kepada Filisof Muslim abad XIV Ibn Taymiah yang membedakan antara orang-orang dan agama Islam umum (yang Non-Muslim par excellance) , dan orang-orang dan agama Islam khusus (Muslim par excellance). (Ibid) . Kata Islam sendiri di sini diartikan seabagai “sikap pasrah kepada Tuhan”. Sebagaimana dikutip Budhy menawar Rachman yang mengutip Nurcholish Madjid:
“Pangkal al-Islam ialah persaksian bahwa “ Tidak ada suatu Tuhan apapun selain Allah, Tuhan yang sebenarnya, “ dan persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya kepada Allah semata meninggalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-Islam al-‘am (Islam umum, universal) yang Allah tidak menerima ajaran ketundukan selain daripadanya”.
“ Maka semua Nabi itu dan para pengikut mereka, seluruhnya disebut oleh Allah Ta’ala bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa menganut suatu din selain al-Islam maka tidak akan diterima daripadanya al-din dan di akhirat dia termasuk yang merugi (QS, 3:85) dan firman Allah, “ Sesungguhnya al-din di sisi Allah ialah al-Islam (QS, 3:19”, yang menurut pemahaman Nurchalish berdasarkan Ibn Taymiyah itu –tidak khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka Nabi Muhammad s.a.w. diutus, melainkan hal itu merupakan suatu hukum umum (hukm ‘amm ketentuan universal) tentang manusia masa lalu dan manusia kemudian hari (Ibid, 46-47).
Dalam tafsiran mereka seperti diteruskan Budhy Munawar-Rachman, yang menganut paham yang disebut “Islam Inklusif” ini, mereka menegaskan sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-Islam dengan pemahaman ketundukan dan sikap pasrah, itu tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah agama mereka al-Islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Itu semua hanyalah peristilahan Arab. Para Nabi dan Rasul, dalam da’wah mereka pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing. Seperti QS, Ibrahim/14:4 “ Kami tidak mengutus seorang Rasul dengan kecuali dengan bahasa kaumnya”. Selanjutnya Nurcholish Madjid mengatakan lagi :
Manusia berselisih tentang orang terdahulu dari kalangan umat Nabi Musa dan Nabi Isa, apakah mereka itu orang-orang muslim? Ini adalah perselisihan kebahasaan. Sebab “Islam khusus” (al-Islam khashsh) yang dengan ajaran itu Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Yang mencakup syari’at al-Qur’an tidak ada yang termasuk ke dalamnya selain umat Muhammad saw. Dan al-Islam sekarang secara keseluruhan bersangkutan dengan hal ini. Adapun “ Islam umum” (al-islam al’amm) yang bersangkutan dengan syari’at itu Allah membangkitkan seorang nabi maka bersangkutan dengan islam-nya setiap umat yang mengikuti seorang Nabi dari para nabi itu.
Menurut Budhy Munawar-Rachman, dari wacana di atas tadi dapat disimpulkannya bahwa kalangan Islam inklusif menganut suatu pandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. “Para nabi adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun agama mereka satu”. Rasulullah bersabda, “Aku adalah orang yang paling berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para Nabi adalah saudara satu bapak, ibu mereka berbeda-beda namun agama mereka satu (HR. Bukhari). Mereka yang bersikap inklusif ini selanjutnya mengutip QS, 3: 64, sebagai rujukan bahwa ada titik temu agama-agama, di mana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju kebenaran). Menurut kalangan Islam inklusif ini, Allah memang tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisme) . Adanya perbedaan menjadi motivasi berlomba menuju berbagai kebaikan; dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan yang ada itu. (QS, al-Maidah/5:48). Menurut Budhy Munawar-Rachman, di Indonesia pandangan ini secara kuat dianut oleh Nurcholish Madjid (Ibid, 48).
Ketiga, sikap Paralelisme . Gugusan pemikiran (paradigma) ini berpandangan bahwa setiap agama (agama-agama lain di luar Kristen) mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa Kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap ekslusif), atau melengkapi atau mengisi jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan teologis dan fenomenologis. Sikap pluralis teologis dan fenomenalogis ini dengan sangat kuat dianut oleh para penganut pluralis yang asli, di antaranya adalah John Harwood Hicks dalam God and the Universe of Faith (1973). Pendapatnya dianggap suatu revolusi dalam pemikiran teologi agama-agama. Menurut Budhy Munawar-Rachman, Hicks menggunakan analogi astronomi sebagai berikut :
“ Menurut Ptolemeus, bumi adalah pusat dari seluruh alam semesta. Pergerakan planet-planet lain oleh postulating epicycle. Pertumbuhan jumlah epicycle menjadikan gambaran Ptolemeus makin tidak masuk akal. Karena itulah akhirnya muncul gambaran Kopernikus, yang menggantikan gambaran Petolemeus, dengan menganggap mataharilah yang sebenarnya merupakan pusat alam semesta, bukan bumi. Dengan analogi ini Hicks hendak mengatakan bahwa teologi Ptolemeus kuno (maksudnya tentu saja orang seperti Barth, Kraemer dan lainnya) dan pertumbuhan epicycle-nya (pada Rahner, dan lainnya) yang menanggap bahwa Yesus Kristus adalah pusatnya, makin tidak mungkin menerangkan perkembangan agama-agama lain. Karena itu ia melakukan revolusi Kopernikan dalam bidang pemikiran teologi diperlukan, dengan mengganti Kekristenan (Yesus Kristus) kepada Tuhan sebagai pusat dari alam semesta iman manusia. Semua agama termasuk Kristen, melayani dan mengelili-Nya. (Ibid).
Di kalangan pemikir Islam pluralis, tafsir pluralis merupakan pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Contohnya perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antara agama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Penganut Islam pluralis seperti Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr, seperti dikutip Budhy Munawar-Rachman mengatakan bahwa setiap agama dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut: perumusan iman dan pengalaman iman. Hanya saja setiap agama selalu menanggap yang satu mendahului yang kedua . Katanya, Islam mendahulukan “perumusan iman” dalam hal ini Tawhid. Dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sebaliknya agama Kristen mendahulukan pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi, dan perumusan iman ini mengikuti pengalaman ini, sehingga terciptalah rumusan dogmtis mengenai trinitas. Menurut mereka yang pluralis ini, perbedaan struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama. (Ibid, 49). . Tentu saja paradigma pluralis demikian ditolak oleh para pemeluk agama yang bersikap ekslusif dan inklusif.
Kesimpulan
Kenyataan pluralitas sosiosilogis tidak selalu secara otomatis membawa kepada keberkahan dan makna yang positif kalau tidak disejalankan dengan upaya yang terus menerus untuk diarahkan kepada kehidupan bermasyarakat yang berkeadaban dan bermartabat. Upaya itu menjadi amat strategis dengan mengoptimalkan peranan perguruan tinggi sebagai realisasi tanggungjawab sosialnya terhadap masyarakat dan bangsa. Harmonisasi sosial merupakan infra struktur masyarakat untuk menjadikan pluralitas itu lebih bermakna untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Ada hal-hal yang rawan dalam relasi pluralitas masyarakat selain masalah sosio-kultural, ekonomi dan politik. Di antaranya adalah relasi masyarakat dan agama-agama dalam konteks berteologi .
Pluralisme agama dalam wacana teologis yang dapat membawa kepada pengertian agama itu sama saja, akan membahayakan akidah suatu agama. Maka dapat dipahami, kalau MUI melarang paham pluralisme-teologis itu di Indonesia karena akan meringankan makna eksistensi akidah suatu agama bagi para pemeluknya. Akan tetapi wacana pluralis-teologis cukup signifikan untuk perkembangan ilmu pengetahuan seperti kajian terhadap berbagai filsafat temasuk dari yang paling masuk akal sampai kepada yang utopis. Bahkan mempelajari komunisme dan atheisme untuk ilmu pengetahuan adalah diperlukan untuk mengetahui jalan pemikiran dan alasan-alasan mereka.
Dengan begitu akan ada kesabaran intelektual dan hati untuk meletakkan mereka yang berbeda pendapat sebagai manusia yang bebas berfikir dan tidak membawa kepada kepanikan apalagi gesekan fisik. Oleh karena itu sebaiknya wacana pluralis untuk kalangan awam tidak dikaitkan dengan cara bertawhid atau pemikiran iman atau filosofis-teologis. Wacana peluralis lebih relevan untuk mengatur kemajemukan masyarakat atau tataran sosiologis, kultural, ekonomi dan politik. Sehingga tercipta kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Allah a’lam bi al-shawab. E-mail : shofwankarim@plasa.com
Daftar Kepustaakaan
Asykuri Ibnu Chamim, dkk . 2002. Pendidikan Kewarganegaraan: Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah-The Asia Foundation.
Mohammad Hatta. 1976. Tanggungjawab Kaum Intelegensia. Jakarta: Bulan Bintang.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
T. Jacob dalam Mandiri Sianipar. 1984. “Perguruan Tinggi sebagai sumber Kader Bangsa”. Pendidikan Pilitik Bangsa. Jakarta: Sinar Harapan.
M. Habid Mustopo, Ed. 1983. Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay Manusia dan Budaya. Surabaya: Usaha Nasional.
Koentjaraningrat. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.
Parsudi Suparlan,Ed. 1984. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya: Bacaan untuk MKDU, Khususnya ISD. Jakarta: Konsorsium Antar Bidang Depdikbud dan Rajawali.
Deliar Noer. 1990. Mohammad Hatta; Biografi Politik. Jakarta: LP3ES
Sahar L. Hasan, Ed. 1998. Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi. Jakarta: Gema Insani Press.
Sutopo Yuwono dalam Alfian, Ed. 1985. “Persepsi Ketahanan Nasional terhadap Kebudayaan”. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta : Gramedia.
Tobroni-Syamsul Arifin. 1994. Islam, Pluralisme Budaya dan Politik. Yogyakarta: SI Press.
Budhy Munawar-Rachman.2001. Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina.
Gema Putri., S.Pt., S.H., M.Kn - Perempuan Minang Luhak Nan Bungsu - CEO Rumah BUMN Provinsi Sumatera Barat 2023 - Kepala Cabang Bank Mandiri Dharmasraya Pulau Punjung - Magister Kenotariatan - Sarjana Hukum - Sarjana Peternakan - Presenter Padang TV
Jumat, 13 November 2009
Minggu, 08 November 2009
METODOLOGI PENELITIAN (RESEARCH) PELAKSANAAN DAN KESIMPULAN
III. PELAKSANAAN
Pelaksanaan penelitian merupakan manifestasi dari perencanaan, sebagai pemecah dan pengidentifikasi masalah, mekanisme dan metoda yang dipakai disesuaikan dengan jenis penelitian, namun hal yang penting dilakukan dalam pelaksanaan penelitian yang dilaksanakan di labor adalah:
1. Pengamatan
2. Pengukuran
Pengamatan dan pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif maupun kualitatif.
Jika penelitian lapangan, maka aktivitas yang dilakukan ialah mengumpulkan data lapangan. Di dalam proses pengumpulan data lapangan itu, sejumlah hal harus dijalani, seperti masalah apa saja harus ditanyakan kepada siapa saja (informan), di mana dan kapan serta bagaimana melakukan wawancara. Ketika wawancara itu berlangsung, dalam suasana seperti apa sehingga informasi yang diberikan dapat terandalkan kebenarannya. Bagaimana pula mencatatnya, dan sebagainya.
Dalam melaksanakan penelitian, aspek peneliti merupakan penentu utama keberhasilan penelitian. Penelitian harus dilakukan dengan hati-hati, teliti dan cermat agar data yang dihasilkan akurat dan valid.
Aktivitas dalam penelitian adalah :
1. Pengumpulan fakta
2. Analisis dan sintesis
3. Pengambilan keputusan
Secara sistematis berdasarkan metode ilmiah unsur penting dalam penelitian adalah :
1. Observasi, merupakan pengamatan/pengukuran terhadap fakta
2. Nalar adalah memaknai fakta dan hubungan antar fakta
Jenis-Jenis Penelitian
1. Penelitian Menurut Tujuan
a. Penelitian Terapan adalah penelitian yang diarahkan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah.
b. Penelitian Murni/Dasar adalah penelitian yang dilakukan diarahkan sekedar untuk memahami masalah dalam organisasi secara mendalam (tanpa ingin menerapkan hasilnya). Penelitian dasar bertujuan untuk mengembangkan teori dan tidak memperhatikan kegunaan yang langsung bersifat praktis. Jadi penelitian murni/dasar berkenaan dengan penemuan dan pengembangan ilmu.
2. Penelitian Menurut Metode.
a. Penelitian Survey Penelitian yang dilakukan pada popolasi besar maupun kecil, tetapi data yangdipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi dan hubungan-hubungan antar variabel sosilogis maupun psikologis
b. Penelitian Ex Post Facto, penelitian yang dilakukan untuk meneliti peristiwa yang telah terjadi yang kemudian merunut ke belakang untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejadian tersebut.
c. Penelitian Eksperimen, suatu penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap variabel yang lain dalam kondisi yang terkontrol secara ketat. Variabel independennya dimanipulasi oleh peneliti.
d. Penelitian Naturalistic Metode penelitian ini sering disebut dengan metode kualitatif, yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alami (sebagai lawannya) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Contoh : Sesaji terhadap keberhasilan bisnis.
e. Policy Research, suatu proses penelitian yang dilakukan pada, atau analisis terhadap masalah-masalah sosial yang mendasar, sehingga temuannya dapat direkomendasikan kepada pembuat keputusan untuk bertindak secara praktis dalam menyelesaikan masalah.
f. Action Research Merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan metode kerja yang paling efisien, sehingga biaya produksi dapat ditekan dan produktifitas lembaga dapat meningkat. Tujuan utama penelitian ini adalah mengubah: 1) situasi, 2) perilaku, 3) organisasi termasuk struktur mekanisme kerja, iklim kerja, dan pranata.
g. Penelitian Evaluasi Merupakan bagian dari proses pembuatan keputusan, yaitu untuk membandingkan suatu kejadian, kegiatan dan produk dengan standar dan program yang telah ditetapkan.
h. Penelitian Sejarah Berkenaan dengan analisis yang logis terhadap kejadian-kejadian yang berlangsung di masa lalu. Sumber datanya bisa primer, yaitu orang yang terlibat langsung dalam kejadian itu, atau sumber-sumber dokumentasi yang berkenaan dengan kejadian itu. Tujuan penelitian sejarah adalah untuk merekonstruksi kejadian-kejadian masa lampau secara sistematis dan obyektif, melalui pengumpulan, evaluasi, verifikasi, dan sintesa data diperoleh, sehingga ditetapkan fakta-fakta untuk membuat suatu kesimpulan.
3. Penelitian Menurut Tingkat Eksplanasi
Tingkat eksplanasi adalah tingkat penjelasan. Jadi penelitian menurut tingkat eksplanasi adalah penelitian yang bermaksud menjelaskan kedudukan variabel-variabel yang diteliti serta hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain.
a. Penelitian Deskriptif Adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau penghubungan dengan variabel yang lain.
b. Penelitian Komparatif Adalah suatu penelitian yang bersifat membandingkan. Variabelnya masih sama dengan penelitian varabel mandiri tetapi untuk sample yang lebih dari satu, atau dalam waktu yang berbeda.
c. Penelitian Asosiatif/Hubungan
Merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variable atau lebih. Dengan penelitian ini maka akan dapat dibangun suatu teori yang dapat berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu gejala.
4. Penelitian Menurut Jenis Data dan Analisis Jenis data dan analisisnya dalam penelitian dapat dikelompokkan menjadi dua hal utama yaitu data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata, kalimat, skema dan gambar. Data kuantitatif adalah data berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan (scoring).
IV. PENGAMBILAN KESIMPULAN
1. Pengumpulan Data
Data merupakan keterangan fakta berupa angka, grafik dan atribut, disamping itu juga terdapat informasi yang digunakan untuk pengambilan keputusan.
Sumber data:
1. Pengamatan dan pengukuran di lapangan
2. Wawancara
3. Quisoner
4. Studi pustaka
5. Pengukuran di laboratorium
2. Pengolahan Data
Setelah data dikumpulkan maka dilakukan pemrosesan atau pengolahan data. Dikenal istilah garbage in and garbage out. Garbage in sebagai data primer atau bahan dasar kesimpulan hingga tercapai suatu kesimpulan atau garbage out. Pemrosesan data ini tergantung kembali pada jenis penelitian.
V. PENUTUP
Dari penjelasan diatas maka dapat kami simpulkan bahwa penelitian yang baik itu
bersifat:
1. Bersifat kritis dan analitis
2. Memuat konsep dan teori
3. Menggunakan istilah dengan tepat dan definisi yang uniform.
4. Rasional
5. Obyektif
Selain memiliki sifat di atas penelitian yang baik memiliki ciri-ciri:
1. Tujuan dan masalah penelitian harus digambarkan secara jelas sehingga tidak
menimbulkan keraguan kepada pembaca.
2. Teknik dan prosedur dalam penelitian itu harus dijalaskan secara rinci.
3. Obyektifitas penelitian harus tetap dijaga dengan menunjukkan bukti-bukti mengenai
sample yang diambil
4. Kekurangan-kekurangan selama pelaksanaan penelitian harus diinformasikan secara
jujur dan menjelaskan dampak dari kekurangan tersebut.
5. Validitas dan kehandalan data harus diperiksa dengan cermat.
6. Kesimpulan yang diambil harus didasarkan pada hal-hal yang terkait dengan data
penelitian.
METODOLOGI PENELITIAN (RESEARCH) PERENCANAAN
II. PERENCANAAN
Sebelum melakukan penelitian ada beberapa hal yang perlu kita lakukan terlebih dahulu:
1. Pilih topik penelitian
Topik yang dipilih diharapkan sesuai dengan kemampuan peneliti secara moril dan materil, dipikirkan secara matang terlebih dahulu, singkatnya peneliti harus menguasai topik yang akan dipilih.
2. Lakukan studi pustaka
Hal ini tentu saja dilakukan dengan mencari referensi. Saat ini studi pustaka tidak hanya dilakukan di pustaka saja dengan membaca buku. Browsing di internet dan wawancara para ahli, juga disebut studi pustaka. Aspek input utama juga dapat diambil dari hasil penelitian sebelumnya bila telah ada dilakukan penelitian sebelumnya oleh peneliti sendiri atau peneliti lain, berupa
• Data Kuantitatif
• Data Kualitatif
• Landasan teori
3. Rumuskan masalah
Penelitian dilakukan umumnya didasarkan pada adanya masalah, tujuan yang ingin dicapai, teori yang digunakan dalam melihat masalah, serta metode yang digunakan untuk menjawab masalah.
Apa yang disebut sebagai masalah penelitian ialah segala sesuatu yang bertentangan/berbeda antara keinginan dengan kenyataan yang dihadapi (problem is any discrepancy between an actual state of affairs and some ideal state). Dikatakan ada masalah berarti ada kenyataan yang berbeda bahkan bertolakbelakang antara apa yang seharusnya terjadi (das sollen) dengan kenyataan yang dihadapi (das sein). Adanya perbedaan kenyataan tersebut mempengaruhi atau menyebabkan munculnya kerugian bagi banyak orang (masyarakat) atau lembaga atau aturan-aturan yang telah disepakati, sehingga menurut akal sehat masalah tersebut perlu dicarikan jalan keluar pemecahannya.
Dalam batasan yang sederhana, masalah bisa diartikan sebagai (a) sesuatu yang belum diketahui (karena sifat kebaruannya) dan menimbulkan rasa ingin tahu; (b) segala bentuk pertanyaan yang perlu dicari jawabannya; (c) segala sesuatu yang dipertanyakan; atau (e) segala bentuk hambatan, rintangan, atau kesulitan yang muncul pada sesuatu bidang yang perlu dihindari dan disingkirkan.
Untuk menemukan masalah penelitian, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Di antara cara-cara itu ialah dengan melakukan pengamatan terhadap kegiatan manusia secara cermat. Dari pengamatan tersebut, lantas kita tanyakan kembali yakni apakah ada perbedaan antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang ditemui? Lihatlah bagaimana seorang teknisi mobil di bengkel bekerja. Dengan menghidupkan mesin mobil, mereka cepat tahu apa yang tidak beres pada mesin mobil tersebut. Begitu pulalah dengan dokter. Dengan mengamati pasien ditambah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan singkat, dokter akan tahu kemungkinan penyakit yang diderita pasien. Jika kurang yakin atau untuk lebih meyakinkan diri, seorang teknisi mobil atau seorang dokter akan mengetes (mendiagnosis) dengan memakai alat-alat yang dimiliki. Untuk mempertajam pemahaman atas jawaban yang diajukan sendiri, perlu dibantu dengan membaca sumber-sumber bacaan sesuai dengan bidang pengetahuan yang digeluti. Semakin kita kuasai bidang keilmuan, akan semakin peka untuk melihat adanya masalah. Sumber-sumber bacaan itu bisa dicari misalnya dari laporan-laporan penelitian. Bisa jadi, akan kita temukan adanya ketidakajegan hasil-hasil penelitian tentang sesuatu hal. Ini mungkin bisa dilihat dari arah pendekatan teori atau metodologi yang dipakai. Jika perlu, bisa juga dilanjutkan dengan mendiskusikan kepada peer-group atau kepada pihak-pihak yang terkait, sehingga menambhak keyakinan kita adanya masalah penelitian yang menarik dikaji. Namun demikian, tidak semua masalah menjadi penting untuk diangkat sebagai permasalahan yang membutuhkan penelitian. Dalam hal ini, diperlukan sejumlah pertimbangan, di antaranya: (a). Apakah penelitian terhadap masalah yang kita angkat itu akan memberikan sumbangan untuk pemecahan masalah-masalah praktis, pengembangan teori, atau memiliki daya tarik karena kebaruannya?; (b) Kalau kita meneliti terhadap masalah yang akan kita ajukan itu, apakah dari segi biaya, waktu, fasilitas, kemampuan, dan metodologi, terkuasai?
Apabila sudah “mencukupi”, maka langkah berikutnya adalah “merumuskan permasalahan ke dalam susunan kalimat yang jelas. Ingat, dapat merumuskan dengan baik masalah penelitian yang akan dilakukan, sudah merupakan separoh dari berhasilnya penelitian itu sendiri”. Untuk itu, perlu diperhatikan beberapa hal. Pertama, hendaknya masalah yang diajukan dirumuskan ke dalam bentuk kalimat yang jelas, dan padat. Kedua, hendaknya, di dalam susunan permasalahan itu memberi petunjuk tentang mungkinnya melakukan pengumpulan data guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkandung dalam perumusannya itu.
4. Rumuskan RESEARCH QUESTION
Research question yang biasa dipakai adalah:
- What
- When
- Where
- Who
- Why
- Which
- How
5. Rumuskan hipotesa dan luaran yang diharapkan
Hipotesis adalah hasil proses teoretik atau proses rasional yang berbentuk pernyataan tentang karakteristik poupulasi. Hipotesis juga merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan penelitian yang ada pada perumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan teori yang relevan, belum didasarkan atas fakta-fakta empiris yang diperoleh dari pengumpulan data. Sebagai hasil proses teori yang belum berdasarkan atas fakta, maka hipotesis masih perlu diuji kebenarannya dengan data empiris.
Penelitian yang merumuskan dan menguji hipotesis adalah penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian kualitatif pada tahap tertentu mungkin baru bisa menemukan hipotesis, yang selanjutnya hipotesis yang telah ditemukan diuji oleh peneliti yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Hipotesis penelitian yang dirumuskan berdasarkan teori-teori yang relevan dinamakan hipotesis penelitian atau hipotesis alternatif. Ingkaran atau negasi dari hipotesis alternatif disebut hipotesis nol atau hipotesis statistik. Hipotesis nol perlu dirumuskan secara statistik karena dalam pengujian statistik yang diuji adalah hipotesis nol. Kesimpulan mengenai hipotesis penelitian adalah implikasi logis dari hasil pengujian terhadap hipotesis nol. Artinya, jika hipotesis nol ditolak maka hipotesis penlitian diterima atau dianggap benar dengan taraf kepercayaan 1 - α .
Pembentukan hipotesis tidak berarti bahwa hubungan tertentu yang diharapkan merupakan suatu fakta yang pasti. Seorang peneliti harus waspada jangan sampai mempunyai “vested interest” untuk membenarkan kebenaran hipotesisnya, sehingga berusaha bagaimanapun juga menyesuaikan datanya dengan hipotesisnya, sedangkan sebenarnya hipotesis itu sendiri masih harus diuji kebenarannya. Gejala ini menunjukkan bahwa ada kalanya seorang peneliti tidak sadar bahwa kalau hipotesisnya tidak teruji, juga merupakan penemuan yang dapat bermanfaat bagi pengetahuan tentang
masalah yang diteliti.
Berdasarkan pemikiran tersebut jelas bahwa hipotesis penelitian tidak ditentukan secara asal-asalan, tetapi berdasarkan atas teori, kerangka pikir, dan fakta komparasi yang cukup kuat, sehingga secara teoretik telah mempunyai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi hipotesis adalah hasil dari tinjauan pustaka atau proses rasional dari penelitian yang telah mempunyai kebenaran secara teoritik. Namun demikian kebenaran hipotesis masih harus diuji secara empirik. Oleh karena itu, hipotesis juga dianggap sebagai jawaban sementara terhadap masalah yang telah dirumuskan dalam suatu penelitian dan masih perlu diuji kebenarannya dengan menggunakan data empirik. Trelease (1960) memberikan definisi hipotesis sebagai “suatu
keterangan sementara dari suatu fakta yang dapat diamati”, sedangkan Good dan Scates (1954) menyatakan bahwa “hipotesis adalah sebuah taksiran atau referensi yang dirumuskan dan diterima untuk sementara yang dapat menerangkan fakta-fakta yang dapat diamati, dan digunakan sebagai petunjuk untuk langkah penelitian selanjutnya” (Nazir, 1985). Dalam pengujian hipotesis, yang akan diuji adalah apakah hipotesis benar adanya, yaitu sesuai dengan fakta yang ada di populasi. Dalam hubungan ini, hipotesis dipandang sebagai pernyataan tentang karakteristik populasi yang akan diuji kebenarannya berdasarkan data sampel. Oleh karena itu, hipotesis dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang merupakan jawaban sementara terhadap masalah inferensial yang telah dirumuskan, dan pernyataan tersebut merupakan pernyataan tentang karakteristik populasi yang akan diuji kebenarannya melalui pengujian hipotesis secara statistik dengan menggunakan data empirik yang diperoleh dari sampel. Karena pengujian hipotesis dilakukan secara statistik, maka rumusan hipotesis dalam bentuk pernyataan tersebut biasanya dilengkapi dengan rumusan statistik. Misalnya “ada hubungan positif antara motivasi kerja dengan prestasi kerja” atau “makin tinggi motivasi kerja, maka prestasi kerja yang dicapai juga makin tinggi. Penyataan hipotesis ini sebaiknya dilengkapi dengan rumusan statistik yang berbunyi sebagai berikut:
H1 : ρ > 0 versus HO : ρ ≤ 0
Atau hipotesis mengenai perbedaan misalnya “terdapat perbedaan rata-rata prestasi kerja statistik antara mahasiswa PT yang diajar dengan metode ceramah dan mahasiswa PT yang diajar dengan metode diskusi”. Pernyataan hipotesis ini sebaiknya dilengkapi dengan rumusan statistik yang berbunyi sebagai berikut :
H1 : ρ ≠ 0 versus HO : ρ = 0
Perlu pula dijelaskan bahwa dalam pengujian hipotesis secara statistik, yang diuji adalah Ho (hipotesis nol) yang merupakan negasi atau ingkaran dari hipotesis penelitian (H1 = hipotesis alternatif), karena distribusi statistik yang tersedia adalah distribusi untuk menguji hipotesis nol.
Ciri-ciri Hipotesis
Hipotesis yang baik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Hasil dari proses teoritik dan komparasi fakta yang andal, dan secara teoritik dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya.
b. Merupakan pernyataan tentang karakteristik populasi.
c. Jawaban sementara yang masih perlu diuji kebenarannya dengan menggunakan data empirik yang diperoleh dari sampel.
d. Hipotesis harus menyatakan hubungan atau perbedaan.
e. Hipotesis harus dapat diuji.
f. Hipotesis harus spesifik dan sederhana.
Teknik Perumusan Hipotesis Secara Statistik
Hipotesis adalah suatu pernyataan tentang karakteristik populasi yang merupakan jawaban sementara terhadap masalah yang telah dirumuskan dalam suatu penelitian. Hipotesis merupakan hasil penelaahan teoritik (melalui proses rasional), baik dengan penalaran deduktif maupun penalaran induktif. Namun demikian kebenaran suatu hipotesis masih harus diuji dengan menggunakan data empirik yang diperoleh dari sampel. Pengajuan hipotesis tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik statistik.
Untuk kepentingan pengujian hipotesis secara statistik, kita selalu merumuskan hipotesis nol (HO) dan hipotesis alternatif (H1). H1 adalah hipotesis penelitian, sedang HO adalah ingkaran negasi dari H1 yang akan diuji secara statistik. Jadi dalam pengujian hipotesis yang diuji adalah HO, sedang kesimpulan mengenai H1 adalah konsekuensi logis dari hasil pengujian HO. Artinya jika HO ditolak maka H1 diterima, dan sebaliknya jika HO diterima, maka H1 ditolak. Rumusan hipotesis untuk keperluan pengujian dengan
menggunakan teknik-teknik statistik dibedakan atas tiga, yaitu
(1) hipotesis tidak langsung
(2) hipotesis langsung positif
(3) hipotesis langsung negatif.
1. Hipotesis tidak langsung
Untuk menguji hipotesis tidak langsung digunakan uji-dua pihak, yaitu ½
pihak kanan dan ½ pihak kiri sebagai daerah penolakan.
2. Hipotesis Langsung Positif
Untuk menguji hipotesis langsung positif digunakan uji-satu pihak kanan
dengan daerah penolakan sebesar terletak di sebelah kanan.
3. Hipotesis Langsung Negatif
Untuk menguji hipotesis langsung negatif digunakan uji-satu pihak kiri,
dengan daerah penolakan sebesar terletak di sebelah kiri.
CONTOH:
Contoh : Hipotesis tidak langsung
“Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan tingkat kematian bayi”
Secara statistik hipotesis ini dirumuskan :
H1 : ρ = 0 versus Ho : ρ ≠ 0
Jika nilai mutlak koefisien hubungannya cukup besar sehingga masuk pada daerah penolakan kiri, maka Ho akan ditolak, dan kita berkesimpulan bahwa hubungannya signifikan atau ada hubungan pada populasi.
Contoh : Hipotesis Langsung Positif
“Ada hubungan positif antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak balita”, atau “Makin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka status gizi anak balita juga makin baik”. Secara statistik hipotesis ini dirumuskan :
Metodologi Penelitian 91
H1 : ρ > 0 versus Ho : ρ ≤ 0
H0 akan ditolak jika koefisien hubungannya positif dan cukup besar sehingga
masuk pada daerah penolakan.
Contoh : Hipotesis Langsung Negatif
“Ada hubungan negatif antara jumlah anak dengan status gizi”, atau “Makin banyak anak, maka status gizinya akan makin rendah”.
Secara statistik hipotesis ini dirumuskan :
H1 : ρ < 0 versus H0 : ρ ≥ 0
H0 akan ditolak jika koefisien hubungannya negatif dan nilai mutlaknya cukup besar sehingga masuk pada daerah penolakan.
6. Rencanakan mekanisme pelaksanaan
Mekanisme pelaksanaan harus ditentukan terlebih dahulu agar penelitian dapat dilaksanakan tepat waktu dan tepat sasaran, tidak terjadi kebingungan dalam pelaksanaan penelitian.
7. Rencanakan perangkat fikir dan perangkat kerja
Perangkat fikir dan perangkat kerja ditentukan berdasarkan topik penelitian, secara kasar dapat disebut sebagai bahan-bahan apa saja akan dipakai beserta aksesorisnya.
8. Rencanakan waktu dan biaya
Waktu dan biaya merupakan hal utama yang perlu diperhatikan, karena tidak semua penelitian berkaitan dengan sampel dan objek yang dipakai mampu bertahan lama atau lebih cepat, dan tidak semua penelitian dibiayai penuh, tidak hanya biaya pribadi namun penelitian terkadang juga mengajukan proposal penelitian.
9. Menyusun Catatan
Ada ungkapan, setajam-tajamnya ingatan, masih lebih tajam mata pena. Ini artinya, serangkaian kegiatan memilih dan membaca bahan bacaan, perlu diikuti dengan mencatat hal-hal yang relevan dan penting. Seberapa jauh bahan bacaan itu penting dan relevan, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, apakah “informasi” ini patut saya catat untuk keperluan ikhtisar saya? Kedua, adakah alasan yang kuat untuk mengambil bahan ini? Dan ketiga, apa saja yang harus saya catat dalam kaitannya dengan penelitian saya?
Jika kita menjawab “penting dan perlu”, berikutnya ialah bagaimana cara mencatatnya. Cara mencatat perlu dipertimbangkan dengan tujuan pemanfaatannya. Dalam hal ini ada tiga bentuk catatan yaitu (1) Kartu ikhtisar, (2) Kartu kutipan, dan (3) kartu ulasan.
Kartu Ihtisar. Mencatat ikhtisar harus teliti karena isinya harus mewakili pendapat aslinya. Catatan ikhtisar harus lebih pendek daripada tulisan aslinya, dan dibuat dalam bentuk garis besarnya. Ini berarti pencatat harus lebih banyak menggunakan pikiran daripada jika ia hanya mengutip beberapa kalimat atau paragraf. Untuk efesiensi, setiap kartu catatan sebaiknya dibuat menurut suatu sistem tertentu. Misalnya dengan menambahkan kode sumber yang dibaca (nomor, singkatan nama penulis buku dll. yang dianggap sangat perlu) di sudut kiri-atas; di tengah atas ditulisi “IKHTISAR”; sudut kanan-atas ditulisi singkatan pokok persoalan.
Kartu Kutipan. Menulis kutipan dalam Kartu Kutipan harus sama persis dengan aslinya. Jika dari bentuk aslinya dianggap salah, bisa diberi tanda (SIC). Sampai seberapa panjang kita mengutip, tergantung pada jenis bahan dan dari kebutuhan kita. Yang perlu diingat ialah untuk satu kartu hendaknya dikutip satu pokok pembahasan saja. Bila antara kutipan-kutipan itu kita memerlukan memberi tambahan, maka tambahan itu harus berada dalam kurung kurawal [ ].
Kartu ulasan. Kartu ini membuat catatan yang khusus datang dari peneliti sendiri. Isi dari catatan merupakan reaksi terhadap sesuatu sumber yang dibaca. Reaksi ini dapat bersifat menambah atau menjelaskan catatan bacaan, dapat pula berupa kritik, kesimpulan, saran, komentar dan lain-lain.
10. Menyusun Tabel Data
Selain menyusun data buku, kita perlu menyusun tabel data. Sehingga memberikan kemudahan dalam memasukkan data saat berada dilapangan
Langganan:
Postingan (Atom)