Kamis, 06 Oktober 2011

"Surat Terbuka" Mengenang Refri Agustian Widodo (Pilot Adam Air)

padang Ekpres Online Saptu 6 Januari
===============================

"Surat Terbuka" Mengenang Refri Agustian Widodo (Pilot Adam Air):
Sabtu, 06-Januari-2007, 04:52:53
oleh Zefrizal Nurdin, SH. MH

** Nak Ery, Tahun Ini Pak Etek Khatib di Lapangan Mahad Islami

Hilangnya pesawat Adam Air menghadirkan kedukaan bagi bangsa ini.
Begitupun bagi Sumbar. Salah seorang putra terbaiknya, Refri Agustian
Widodo, sang pilot, asal Batuhampa, Kabupaten Limapuluh Kota, sampai
kini belum juga ditemukan. Dalam kedukaan itu, redaksi Harian Pagi
Padang Ekspres kedatangan tamu, tadi malam. Tamu itu, Zefrizal Nurdin
SH, MH, dosen di Fakultas Hukum Unand. Beliau merupakan Pak Etek dari
Refri Agustian Widodo. Sebuah tulisannya berkaitan dengan Ery, sapaan
akrab Refri Agustian Widodo, serta kehidupannya diberikan untuk
pembaca. Tulisan itu kami muat utuh hari ini. (redaksi)
Aku dan Desaku

Sekitar sepuluh kilometer menjelang Payakumbuh dari arah Bukittinggi
dengan berbelok ke kiri sekitar 2 Km, anda akan menjumpai sebuah desa
tempat aku dan kerabatku tumbuh; Batuhampa. Orang tuaku juga lahir di
situ. Ayahku bungsu dari 4 bersaudara yang semuanya laki-laki. Si
Sulung bernama Pak Tapa, punya 4 anak, satu di antaranya laki-laki
bernama Darakutni. Semua anaknya, kini sudah berpulang dalam usia
relatif muda. Pak Odangku kedua. Punya 3 anak, 2 di antaranya
laki-laki yang juga berpulang dalam usia belum begitu tua, satu
perempuan; kak Ima yang kini masih hidup. Pak Odang ketiga hanya punya
satu anak laki-laki yang juga telah tiada dalam usia lebih dari 60-an.
Kini dari garis keturunan laki-laki pada generasi kedua tinggal aku si
bungsu dan abangku tertua yang mengapit 4 saudara perempuan kami.

Pilot

Kami selalu memanggilnya "Ery", tapi uwanku Darakutni selaku ayah,
selalu memanggilnya Hery. Rasanya Wan Tani, sapaan akrab uwanku
Darakutni, pernah cerita, nama Refri Agustian Widodo yang "ujung"nya
berbau "kejawaan" lantaran nama ini diberikan atasannya di jajaran
angkatan laut tempat ia bekerja, bukan sekadar nama taktis agar bisa
cepat berbaur dalam dunia militer.

Yang masih terukir jelas dalam memoriku adalah penuturan kak Nimar
(Ibu Ery), bahwa mereka hampir mati bersama, andai saat itu si
pembidik tak lagi dibisiki Allah belas kasih. Saat itu ketika
berlangsung pembersihan "tentara luar" yang dianggap memberontak
terhadap tentara pusat. Uwanku ditangkap dan segera dieksekusi mati di
bibir Ngarai Sianok. Beruntung, kabar tersebut sampai ke kakakku
Nimar. Dengan perut besar karena Ery telah 8 bulan dalam kandungan,
dia mencoba memagari Uwan dengan tetap bergelantungan pada Uwan dari
arah bidikan. Prinsip kakak "jika uwan mati, maka harus mati bertiga".

Uwan dan Jakarta

Kehamilan kakak dijadikan indikasi ataupun alibi bahwa Wan tidak
berada "di luar", dan Wan jadi selamat. Kata Uwan padaku suatu malam,
jika takut dengan peluru, larilah ke gagang pistol. Wan lari ke
gagangnya: Jakarta. Sejak itulah Wan aktif di angkatan laut.
Disanalah, tepatnya di Tebet Timur, Ery kemudian berkembang disertai
seorang adik: Semy Jony Putra yang juga berkiprah mengikuti jejak Uwan
di angkatan laut.

Aku dan Tebet Timur

Awal 1974 aku melanjutkan studi ke Pendidikan Hakim Islam Negeri,
salah satu SLTA di Yogya. Dalam usia 17 tahun itu, aku berangkat
sendirian dengan dititipkan Mak pada seorang penumpang: Marnizen (aku
tak tahu kini ia dimana) dan Wan menanti di Tanjung Priuk. Selama
studi di Yogya sampai menamatkan Fakultas Hukum UGM tahun 1982,
keluarga terdekatku ada di Tebet Timur itu dan ke sanalah aku pergi
setiap libur sekolah.

Aku makin hafal jalan jalan di Jakarta berkat Ery dan Wan yang sering
membawaku berkeliling.

Suatu kali mobil yang dikemudikan Ery ditabrak dari belakang. Kulihat
Ery betapa tenang mengatasi hal ini, tanpa tergurat sepercik emosi
pun. Pada kali yang lain mesin Sanyo penyedot air sumur yang diletak
menggantung di tengah sumur berkedalaman 12 meter, tiba-tiba ngadat,
kedua anakku ini (Ery dan adiknya) berebut untuk turun memperbaikinya
hanya dengan diturunkan pada seutas tali oleh Wan. Di tepi sumur
badanku menggigil menyaksikan aksi bapak dan anak. Ini benar-benar
latihan laki-laki.

Aku tak heran jika Ery berkeinginan jadi pilot dan menurutku itu cocok
untuknya. Namun ketika cita-citanya terwujud, beberapa kali pula
perasaan cemas akan kejatuhannya menyergapku, dan rasa cemas itu
selalu kutepis dengan alasan bahwa akulah yang Phobia ketinggian.

Di sisi lain andai aku naik pesawat dan tahu Ery adalah pilotnya, aku
yakin rasa cemas itu akan menguap, bukan lantaran ia kerabatku, tapi
lantaran aku tahu kemampuan dan ketenangannya dalam menghadapi situasi
apapun.

Aku, Ery dan Awan

Tiap Lebaran Fitri ia pulang ke kampung bersama istrinya Zulfia (anak
kak Ima) yang juga merupakan mantan mahasiswaku di Fakultas Hukum
Unand, dan kini jadi notaris di kota mereka menetap; Sidoarjo.

Ery sering kali bertanya menjelang Fitri itu tentang lokasi aku
menjadi khatib Ied, sebab ia akan sholat di sana. Beberapa kali aku
menatapnya dari mimbar. la sepertinya bangga padaku, seperti aku juga
bangga padanya. Atau mungkin ini suatu kebanggaan nostalgia. Seperti
halnya ia datang, ia pun kembali ke Surabaya dengan menembus awan.
Awan, angin, biru laut, biru gunung, biru langit adalah dunianya.

Saat menuju Menado, laporan anakku pada Bandara Hasanuddin, ia
terjebak gumpalan awan dan angin yang bertiup dari samping dalam
kecepatan amat tinggi. la tak bisa melihat birunya laut, gunung dan
langit. la melayang entah ke mana. Pak etek tidak memiliki firasat
apapun sebelumnya, kecuali sebuah mimpi dua hari sebelum kau jatuh
bahwa aku kematian diriku sendiri. Kemudian kembali hidup dan
terdampar di puncak sebuah bukit kecil yang bila menatap ke depan dan
ke samping kanan terlihat sebuah sungai besar berliku yang mengalir
dekat ke muara sebelah barat entah di pulau mana.

Ananda Ery! Jika kau masih mungkin kami jangkau dan amat sulit
terdeteksi, pesankan pada Illahi agar Pak Etek bermimpi tentang tempat
keberadaanmu. Masih besar harapan Pak Etek kau mampu mengatasi
ganasnya rimba dalam ataupun dalamnya samudera. Kau adalah seorang
putra pelaut.

Tak perlu kau tanya, tahun besok Pak Etek khatib di lapangan Mahad
Islami Payakumbuh. Datang dan duduklah di baris depan seperti biasa
agar Pak Etek bisa menatapmu dengan lepas. Tapi jika kau memang telah
pergi bersama-Nya, dengan rasa tersekat Pak Etek ucapkan selamat
jalan, dan temuilah dulu ayahmu, nak.

Kelak kita semua semoga berkumpul lagi di tempat yang jauh lebih hebat
dibanding Tebet Timur.

Pak Etekmu Zef

Pembaca yang terhormat, saya juga mohon doa dari anda semua untuk
keselamatan anak saya Ery. Terima kasih. (***)

1 komentar:

ambo mengatakan...

Tentang Ery. Innalilah wa Inna Ilahi rhojiun. Semoga Arwah Ery Ditempatkan di Tempat terbaik di sisi Allah swt. Semoga anak dan istrinya sehat selalu walaupun Ambo belum kenal. Saya kenal bangat Ery walaupun sebentar, tahun 1980, Kami tidur satu kamar di Tebet bbrp hari waktu di Jakarta. Ery teman ambo. Saya ingat betul, Ery Anak mak Tani. Saya "Jasman Mudahan adik Iswardy Mudahan " anak almarhum Mudahan (Tukang Dahan) Batuhampa saudara dari mak Tani. Saya pernah tinggal di Rumah Mak Tani Di Tebet Tahun 1980 dalam rangka Test Perguruan Tinggi Perintis satu ( pilihan UI dan ITB). Saat itu belum berhasil, Saya pulang kembali ke padang masuk perintis 3 diterima di KIMIA UNAND, kemudian ambo S2 teknik kimia di ITB. Salama 5 hari dan sama belajar jo Ery . Kami sama belajar dalam persiapan Ujian di Lapangan Basket Senanyan tahun 1980. Waktu itu ery banyak mamilih salah satu ery pernah bilang dia memilih 5 perguruan tinggi termasuk mau Jadi Pilot. Akhir nya cita cita nya tercapai Salam ke keluarga Ery. Sekarang kami tinggal di VBI bloh H Bogor.