Gema Putri., S.Pt., S.H., M.Kn - Perempuan Minang Luhak Nan Bungsu - CEO Rumah BUMN Provinsi Sumatera Barat 2023 - Kepala Cabang Bank Mandiri Dharmasraya Pulau Punjung - Magister Kenotariatan - Sarjana Hukum - Sarjana Peternakan - Presenter Padang TV
Rabu, 29 Agustus 2012
Bahan Penelitian
Dinamika Perkembangan TPA, TPSA dan MDA di Sumatera Barat*)
10 Juni 2010
Oleh Drs. H. Fachrul Rasyid HF
Berbicara mengenai Taman Pendidikan Alquran (TPA) Taman Pendidikan Seni Alquran (TPSA) dan Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) di Sumatera Barat mau tak mau kita berbicara tentang surau di Minangkabau. Karena, dari suarulah pendidikan/ pengajaran Alquran di Minangkabau bermula.
Sebelum Islam masuk dan diterima sebagai agama di Minangkabau, surau boleh dibilang hanyalah sebagai rumah laki-laki bujangan, yang muda maupun yang tua. Maklum, dalam konstruksi bangunan rumah adat Minang tidak tersedia ruangan untuk anak laki-laki atau bujangan. Buat mereka disediakan surau atau langgar, layaknya bangunan rumah biasa yang punya kamar, dapur dan sumur tempat mandi.
Setelah Islam masuk di Minangkabau, diantara pemuda yang memperoleh pendidikan dan pengajian agama dari kalangan juru dakwah setempat atau di perantauan, mengembangkan ilmunya di surau di mana mereka biasa menginap. Mereka mengajar anak-anak mengaji secara halaqah/lesehan: membaca Alquran, hadits, ibadah, akhlak melalui cerita atau kisah-kisah. Mereka mengajarkan menulis bahasa Melayu dengan tulisan Arab (Arab Melayu). Tapi ada pula surau yang menjadi sanggar silat karena kebetulan yang diajarkan di sana adalah bel;a diri silat. Karena itu ada surau tempat mengaji dan ada surau silat dan sebagainya. Sampai di situ surau belum identik dengan tempat ibadah layaknya mushalla.
Dalam perkembangannya, sesuai dengan keterbatasan lembaga pendidikan dan diterimanya unsur kepemimpinan agama dalam sistem kepemimpinan masyarakat Minangkabau, surau mengaji terus mendapat tempat sehingga surau identik dengan tempat mengaji. Bahkan kemudian banyak surau yang berkembang jadi madrasah, jadi mushalla dan bahkan jadi masjid. Itu sebabnya hingga kini masjid dan mushalla masih disebut surau.
Prof. Mahmud Junus (dalam SPI Indonesia) mencatat, sampai akhir abad ke 19 satu-satunya qari terbaik di Minangkabau adalah Syekh Abdurraham di Batu Hampar, Kabupaten 50 Kota. Setelah wafat tahun 1317 H/ 1900 M, ia digantikan dua anaknya, H.M. Rasyad dan H. Arifin. Suaru Abdurhaman kemudian berkembang jadi madrasah dan hingga sekarang banyak lmelahirkan pembaca Alquran terbaik.
Mengaji di surau kemudian menyesuaikan diri dengan pendidikan formal (punya ruang kelas, papan tulis dan mengunakan kursi dan meja) setelah H. Abdul Karim Amarullah – Inyiak Rasul (ayah Hamka) mengembangkan suraunya jadi Madrasah Sumatera Thawalib di Padangpanjang tahun 1921. Kemudian diikuti Sumatera Thawalib Syekh Ibrahim Musa Parabek. Sumatera Thawalib Padang Japang (Darul Funun El Abbasyiah), Maninjau, dan Sungayang.
Setelah madrasah berkembang jadi pendidikan formal, suaru mengaji berdiri sendiri di surau, di masjid atau mushalla. Surau mengaji, bagi anak-anak setingkat SD dan SMP, dikhususkan pada pelajaran memabaca/ menulis Alquran, belajar hadits, dasar-dasar keagamaan, ibadah dan akhlak.
Kapan persisnya pendidikan Alquran di surau berubah jadi TPA/ TPSA/ MDA belum diperoleh hasil penelitian yang konverhensif. Yang ada hanya cerita berdasarkan pengamatan dan pengalaman orang perorang. Diperkirakan peralihan itu terjadi sekitar tahun 1960-an di saat Pemerintahan Soekarno yang didominasi PKI hingga terjadi peristiwa G.30.S/PKI 30 September 1965 di mana tekanan terhadap umat Islam semakin berat. Atau bersamaan lahirnya kegiatan Dididikan Subuh. Toh, hal itu tak akan dibahas lebih jauh mengingat pembicaraan forum ini terfokus pada perkembangan TPA/TPSA/MDA.
II.Saya percaya belum ada data dan informasi yang akurat tentang perkembangan TPA/TPSA/MDA ini. Maka untuk membicarakan Dinamika Perkembangannya tentulah tidak cukup hanya dengan melihat jumlah anak-anak yang belajar mengaji di berapa masjid dan mushalla saja. Tidak juga dengan mendengar pendapat beberapa orang tentang adanya persentase murid sekolah tertentu yang tak bisa membaca Alquran. Tidak cukup juga hanya dengan melihat ramainya acara khatam Alquran, lomba juz amma, lomba asmaul husna di beberapa nagari dan kota.
Bahkan aktivitas MTQ, jumlah peserta dan pemenang MTQ, mulai dari antar nagari/ kelurahan, antar kecamatan, antar kabupaten dan antar provinsi/ nasional tidak cukup mengindikasikan dinamika kemajuan TPA/TPSA/MDA itu. Soalnya, lebih 15 tahun terakhir beredar isu bahwa diantara anggota kafilah bukan berasal dari nagari/ kelurahan, kecamatan atau kabupaten yang diwakilinya. Mereka, meski ada yang penduduk setempat tapi belajar Alquran di kabupaten atau provinsi lain.
Dari situ kemudian muncul istilah qari-qariah rental, atau bajakan. Kejadiannya persis atlet cabang-cabang olahrga pada Porda atau PON atau kompetisi sepakbola antar kota di Indonesia yang nyaris didominasi pemain asing. Tak aneh kalau ada anggota kafilah yang didiskualifikasi dan “ditendang” ke luar gelanggang karena ketahuan tidak asli. Ada yang berganti nama dan berganti alamat, bahkan memanuipulasi usia.
Karena itu meski pejabat Departemen Agama dan Bupati/walikota bangga kafilah daerahnya berhasil jadi juara satu atau juara umum, namun kebanggaan itu boleh disebut kebanggan formalitas dan semu.
Membicarakan Dinamika Perkembangan TPSA, TPSA, dan MDA, jelas perlu dilihat dari berbagai sisi, indikator dan faktor. Misalnya jumlah murid dan jumlah unit, kondisi fasilitas, metoda, kurikulum jumlah dan mutu guru termasuk kemampuan serta kualitas tamatannya. Sayang, meski sudah berlangsung lebih satu abad, namun belum ada inventarisasi indikator dan faktor perkembangan TPA/TPSA/MDA yang bisa dijadikan perbandingan dan rujukan.
Penjenjangan dan kalisfikasi juga tidak jelas dan tidak terkendali secara benar dan tepat. Dulu, di akhir tahun 1980-an pernah diterapkan penjenjangan atau klasifikasi TPA, TPSA, MDA mengikuti sekolah formal. TPA untuk murid kelas 1 s/d kelas 6 SD terdiri dari tiga kelas 1 s/d kelas 3. Pada kelas 1 diajarkan membaca/ menulis tulisan Arab/Alquran ditambah akhlak. Pada kelas 2 diajarkan membaca/menulis tulisan Arab/Alquran. Pelajaran/paraktek ibadah, aqidah/akhlak dan hafalan ayat-ayat pendek. Pada kelas 3 diajarkan membaca dan menulis Alquran, tajwid dan irama membaca Alquran.
TPSA, untuk murid kelas tiga hingga kelas 6 SD, mengajarkan selain membaca dan menulis Alquran, terjemahan/tafsir Alquran, juga ibadah dan akhlak. MDA , untuk murid SD kelas 3 hingga kelas 5. Terdiri dari tiga kelas I/II dan III. Pelajarannya, ilmu dan pengetahuan agama, Alquran, tafsir, terjemahan dan ibadah.
Sejak 10 tahun belakangan tidak seluruh masjid dan mushalla yang menerapkan klasifikasi dan spesipikasi TPA/TPSA/MDA itu. Baik karena keterbatasan guru, murid maupun karena keterbatas an waktu belajar mengaji anak-anak.
Pemahaman tentang Taman Pendidikan Alquran kini semakin bergalau karena sejak tahun 2008 Departemen Agama memperkenalkan istilah baru, yaitu Taman Pendidikan Quran (TPQ) dan Taman Kanak-kanak Quran (TKQ) dan ada pula Madrasah Diniyah Wustha (MDW) untuk siswa SMP. Namun bagaimana penjenjangan, pola pengjaran dan kurikulumnya apakah sama dengan TPA/TPSA/MDA juga belum jelas.
Padahal untuk melihat dinamika perkembangan TPA/TPSA /MDA seharusnya juga dicermati dari perkembangan dan keberadaan tiap jejang pendidikan. Dengan cara itu kita bisa tahu, apakah TPA berkembang dan TPSA tidak. Atau TPSA berkembang MDA tidak. Kini akibat tidak jelasnya penerapan klasifikasi pendidikan kitapun kesulitan mengetahui mana diantara tiga jenis pendidikan Alquran tersebut yang berkembang atau adakah diantaranya yang sudah mati.
Dinamika perkembangan TPA/TPSA/MDA semakin sulit dideteksi karena sejauh ini belum ada sebuah organisasi, semacam badan koordinasi yang mengontrol dan mengevaluasi seluruh pendidikan Alquran di Sumatera Barat. Boleh jadi sudah ada lembaga/ badan koordinasi yang mengevaluasi tapi keberadaannya tidak jelas amat. Di Padang misalnya, ada Badan Koordinasi TPSA/TPA/MDA tapi khusus untuk koordinasi penyelenggaraan kurikulum, jadwal dan sertifikat Pesantren Ramadhan, bukan TPA/TPSA/MDA. Hebatnya, guru-guru TPA/TPSA/MDA mendapat honor triwulanan dari Pemko Padang.
Pembicaraan yang ramai selama ini, nyaris dalam bentuk retorika tanpa didukung data dan fakta yang akurat. Misalnya retorika tentang “kehebatan” surau masa lalu, tentang kecemasan terhadap kemampuan baca tulis Alquran anak-anak, tentang pentingnya pendidikan Alquran dan harapan-harapan terhadap TPA,TPSA dan MDA.
Deteksi dinamika perkembangan TPA/TPSA/MDA terasa semakian sulit karena Kanwil Departemen Agama Sumatera Barat hanya mencatat jumlah TPQ dan TKQ yang kini mencapai 5.398 unit. Angka itu tidak disertai analisa dan evaluasi kondisi bangunan dan fasilitas, jumlah dan tingkat kecakapan guru serta jumlah murid dan kualitas lulusannya.
Data yang ada di Kanwil Departemen Agama hanya jumlah masjid ( 4.693 unit) , mushalla (4.449 unit) dan langgar/ surau (5.714 unit) atau total 14.856 unit. Kalau jumlah masjid/mushalla dan langgar itu dibandingkan TPQ/TKQ (5.398) berarti tiap dua dan tiga masjid/mushalla/langgar hanya terdapat 1 TPQ/TKQ. Jika angka itu benar, berarti belum seluruh masjid/mushalla/langgar di Sumatera Barat punya TPQ/TKQ atau belum menyelenggaran pendidikan Alquran.
Akibatnya sulit diketahui apakah jumlah TPA/TPSA/MDA meningkat dari tahun-tahun atau sebaliknya. Tak jelas pula bagaimana kondisinya, apakah membaik atau memburuk. Kantor Departemen Agama tak melakukan evaluasi dan monitoring, mungkin, karena TPA/TPSA/ MDA bukan institusi pemerintah di bawah Departemen Agama melainkan milik masyarakat Islam. Kendati demikian jumlah TPA/TPSA/MDA dan jumlah peserta MTQ, apalagi prestasi qari/qariah dapat jadi prestasi pejabat Kakan Depag. Seolah pejabat Kantor Depag berperan sebagai pedagang pengumpul hasil pertanian yang tak ikut bertani.
III.
Sejauh ini yang bisa dilakukan agaknya hanya deskripsi sekilas tentang keberadaan TPA,TPSA, MDA di beberapa tempat. Diantaranya ada yang berkembang dan menghasilkan anak didik yang mampu membaca dan menghafal Alquran secara benar. Hal itu, tampaknya, antara lain karena kebetulan ada guru yang punya kemampuan seni baca Alquran yang tinggal dan menetap dalam waktu lama di lingkungan masjid di mana TPA itu berada.
Tapi kebanyakan TPA/TPSA/MDA yang karena keterbatasan keuangan masjid dan ekonomi warga, rendahnya kesadaran warga mendidik anaknya di TPA/TPSA/MDA, terbatasnya kempauan guru, serta persoalan manajemen dan kepengurusan keadannya bak karakap di atas batu. Kadang guru-guru hanya diambil dari orang tua yang memang tidak punya pekerjaan lain, atau mahasiswa IAIN yang kebetulan merangkap jadi gharim masjid. Mereka diberi honor seadanya ditambah beras dari warga. Keberadaan mereka pun tidak tetap. Akibtnya banyak TPA yang gonta ganti guru dan pengajaran Alquran anak-anak sering terkendala dan sulit berkembang.
Sejauh ini mungkin tak cukup 25% dari TPA/TPSA/MDA yang memenuhi standar pendidikan Alquran. Karena itu, mungkin, meski TPA/TPSA/MDA tetap berjalan, namun jarang diantara tamatannya yang bisa tampil menjadi imam masjid atau membaca Alquran secara benar mengikuti tajwid dan irama yang benar. Meski TPA/TPSA/MDA tampak berkembang, namun kenyatannya banyak diantara anak-anak yang tak mampu membaca Alquran. Barangkali karena itu, banyak guru mengaji, gharim dan imam di masjid-masjid, seperti di Kota Padang, datang dari luar kota, antara lain dari Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat atau Sumatera Utara di mana pendidikan Alquran masih berjalan dengan baik.
IV.
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Alquran melalui TPA/TPSA/MDA di Sumatera Barat tumbuh dari akar budaya Minang dan berkembang sejak lama. Namun perkembangnya tidak terkoordinasi, tidak terevaluasi dan tidak terukur. Karena itu meski TPA/TPSA/MDA tampak berkembang, namun pengelolaan, standar guru dan mutu lulusannya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Maka, melalui forum ini disarankan perlu dibentuk Badan Koordinasi Pendidikan Alquran mulai dari tinbgkat Nagari/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota sampai ke Provinsi di bawah binaan pemerintah setempat. Badan ini berfungsi menyusun kurikulum, menetapkan standar guru dan merancang metoda pengajaran yang benar, mengevaluasi dan memberi altenatif dan soslusi mengatasi persoalan yang dihadapi TPA/TPSA/MDA sehingga perkem-bangan pendidikan Alquran di daerah ini bisa terukur dan menghasilan lulusan yang memadai. Melalui Badan ini pula tiap nagari dan kabupaten/kota diharapkan bisa disediakan anggaran APB Nagari/Daerah untuk tunjangan guru, bantuan sarana dan fasilitas TPA/TPSA/ MDA.
Kepada pejabat Departemen Agama dan jajarannya dihimbau agar penamaan TPA/TPSA/ MDA bisa diseragamkan dan pendataannya dapat dilengkapi dengan laporan analisa kondisi tiap lembaga sehingga dapat dirujuk untuk evaluasi peningkatan mutu pendidikan Alquran di daerah ini.
Padang 24 April 2009.
Sumber Tulisan :
Prof. Mamud Junus, Sejarah Islam di Minangkabu – CV.Alhidayah Jkt, 1971
Afifi Fauzi, Madrasah Darul Funun El Abbasyiah, Padang Japoang,, 2000
Prof. Mahmud Junus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Mutiara Jkt, 1979
Prof. Dr. Ahmad Sjalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj, Bulan Bintang Jkt 1970
Drs. Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Budaya, Pustaka Antara, 1962
Islamic Centre Sumatera Barat, Dua Puluh Ulama Minangkabau, 1982
Pengalaman Membina TPA dan beberapa tulisan di website
*) Disampikan pada pembukaan Latihan Guru-guru TPA/TPSA/MDA se Sumatera Barat di Rocky Hotel Padang 23 /25 April 2009.
Jumat, 14 Oktober 2011
There's no gravity in space If this myth were true, the universe would be a far different place. By Michael E. Bakich

This is false, but it's easy to understand how this myth got started. Pictures and movies of astronauts orbiting Earth or on their way to the Moon show them floating in their spacecraft. Likewise, images capture shuttle astronauts who conducted spacewalks to repair the Hubble Space Telescope drifting tethered beside the main body of the spacecraft. And, early in the manned space program, pilots and some scientists incorrectly began referring to space as a place of "zero gravity."
Gravity is a force created by any body that has mass. We usually think of the Sun, Moon, and planets (especially Earth) as objects that have gravity, but you and I, because we have some mass, also exert a gravitational force — albeit a really tiny one!
Without getting into some heavy-duty equations here, British mathematician Isaac Newton (1643-1727) proved that gravitational force decreases as the distance from any object increases. But it never vanishes. In fact, Earth's gravity 62.5 miles (100 km) above its surface is still 97 percent as strong as its gravitational pull at sea level.
So, for example, the Sun's gravitational attraction of Mercury (the closest planet) is stronger than its gravitational attraction for Venus, Earth, or any other planet. (That's why Mercury has to move faster than the other planets. If it orbited at the same speed as Earth, the Sun quickly would swallow it.) Likewise, Earth's gravity keeps the Moon circling around us once every 27.3 days, and Jupiter's gravity keeps more than 60 moons orbiting around it.
So, if there's gravity in space, why does it look like the astronauts are floating? The reason is that objects in space are in a continuous state of freefall. This term describes a state of motion with no acceleration other than that provided by gravity. A similar thing could happen on Earth to an elevator passenger and her purse, both of which would be equally "weightless" if the elevator fell rapidly enough.
And consider one last fact. If there were no gravity in space, weather and communication satellites would not orbit Earth, Earth would not orbit the Sun, and the Sun would not orbit the center of the Milky Way. Indeed, everything would shoot off in a straight line, and chaos would rule. But there is gravity in space, and lots of it.
More crimes occur at Full Moon This myth ascribes more influence to the Moon than it actually has. By Michael E. Bakich

This legend is one most people have heard and many believe, although there's not a shred of proof that backs it up. The myth states that police officers and emergency room personnel note a rise in criminal activity during Full Moons.
Scientific studies, however, show no such correlation. In other words, the Moon's phase has no effect on the number of crimes committed, the number of people admitted to asylums, the number of babies conceived or born, or any other like occurrence.
So why does this myth persist? Perhaps it's because people seem to notice an increase in such events around a Full Moon. Social scientists speculate it's because people are more likely to notice, and remember, a Full Moon, rather than the Moon at other phases.
So, if someone commits a murder when the Moon is a crescent, people covering the crime may not remember the phase of the Moon that night. (Perhaps the Moon set before law enforcement arrived at the crime scene.) If, however, the Moon is full, a police officer might be more likely to remember the phase of the Moon that night, because a bright Moon is obvious. And here's a startling fact: A Full Moon shines 10 times brighter than a Quarter Moon, even though First Quarter and Last Quarter display half of the Moon's face illuminated.
In short, crimes, births, and strange occurrences happen all month long, but only those that occur around Full Moon cause people to talk about them.
Sabtu, 08 Oktober 2011
The Real Story from Sichuan. China

ini foto yang sebenarnya, sayangnya tidak terdapat foto lain dari foto ini.
dari http://edikdolotina.blogspot.com/2008/06/heroes-of-sichuan-earthquake.html
Pahlawan Gempa Sichuan
Sebuah gempa berkekuatan 8,0 melanda provinsi Sichuan China jam 2.28 PM, 12 Mei 2008. Episentrum gempa, Wenchuan, sekitar 90 mil dari Chengdu. Gempa bumi melepaskan energi lebih dari 500 bom atom, 30 kali lebih dari gempa Kobe di Jepang pada tahun 1995. Dengan 19 Mei, ada lebih dari 32.000 dipastikan tewas, lebih dari 20.000 masih hilang, dan lebih dari 4,7 juta rumah roboh atau rusak berat.
Kota yang dekat dengan pusat gempa diratakan; seluruh gunung runtuh.
Jutaan orang kehilangan orang yang mereka cintai, rumah mereka, barang-barang mereka. Namun tidak ada penjarahan, tidak ada keluhan, hanya orang-orang yang saling membantu.
Dalam hitungan jam, orang-orang bergegas untuk menyelamatkan. Darah garis sumbangan berjalan selama 100 meter, dan orang-orang menunggu jam untuk mendonorkan darah. Dalam waktu 24 jam, semua bank darah utama kehabisan ruang penyimpanan.
Jalan raya gempa melanda kota Dujianyang (20 mil dari Chengdu) hampir macet satu jam setelah gempa, bukan oleh orang-orang melarikan diri dari gempa susulan, tetapi oleh relawan, yang dipimpin oleh lebih dari 1.000 pengemudi taksi, datang dari Chengdu untuk menyelamatkan.
Seorang pemilik perusahaan besar konstruksi 1.500 mil dari area bencana, hanya 2 jam 30 menit setelah gempa mulai mengangkut 60 mesin konstruksi dan memimpin 120 relawan untuk menyelamatkan. Mereka tiba di daerah bencana 24 jam kemudian, waktu yang hampir sama dengan Angkatan Darat Korps Teknik.
Pekerja medis menyediakan perawatan dibawah kondisi ekstrim, mereka bahkan banyak bayi lahir yang disampaikan baru di tempat parkir.
Perdana Menteri Tiongkok naik pesawat 30 menit setelah gempa dan tiba di area bencana dalam 2 jam. Dia telah menjadi kepala operasi penyelamatan sejak saat itu, bekerja hampir sepanjang waktu di garis depan dengan pekerja penyelamatan.
1,1000 pasukan parasut mulai naik pesawat 2 jam setelah gempa. Meskipun hujan deras, angin kencang dan awan tebal, mereka melompat dari lebih dari 20.000 kaki tinggi ke area gunung terpencil dimana mereka bahkan tidak tahu apakah akan ada tempat bagi mereka untuk mendarat.
Dengan jalan terkubur oleh tanah longsor dan cuaca buruk memalu operasi udara, sekelompok 600 tentara dan tim medis berjalan 21 jam langsung berjalan kaki di daerah pegunungan, membawa pasokan bantuan yang berat, risiko tanah longsor dan batu jatuh. Mereka menjadi kelompok pertama yang tiba di pusat gempa.
Tentara dan petugas penyelamat bekerja sepanjang waktu untuk menyelamatkan orang masih terkubur oleh gempa. Tidak untuk mengangkut alat berat ke daerah terpencil karena jalan yang tertimbun longsor, mereka sering harus menggunakan tangan untuk bergerak ton beton.
Orang-orang bergegas untuk menyumbangkan uang. Banyak orang kaya disumbangkan dalam jutaan, tapi tidak ada yang dapat menandingi tunawisma di Nanjing, 1000 mil dari area bencana. Dia melihat berita dan pergi donasi 5 Yuan di pagi hari. Dia mengatakan orang-orang di area bencana lebih parah dari dia karena hidup mereka terancam. Dia datang kembali sore hari donasi 100 Yuan ($ 14). Dia menjelaskan bahwa semua ia hanya recehan dan pecahan, dan dia tidak ingin membuang waktu relawan dengan menghitungnya, jadi dia pergi ke bank untuk mengubah segala yang ia miliki ke dalam satu tagihan besar. Ini dari seorang pria yang tidak memiliki uang untuk membeli makanan untuk dirinya sendiri.
Seorang anak berusia 3 tahun itu ditarik keluar dari reruntuhan setelah terkubur selama 2 hari. Dia dalam kondisi kritis dan kehilangan kaki, namun selamat. Orangtuanya berpegangan tangan satu sama lain dan bahu tatap muka untuk membuat lengkungan untuk melindungi dirinya dari bangunan jatuh. Orangtuanya tidak bisa keluar.
Seorang anak berusia 5 tahun berhasil diselamatkan setelah terkubur di bawah reruntuhan selama 24 jam. Tangan kirinya patah, tetapi dia tersenyum dan memberi hormat kepada penyelamat nya. Senyumnya membuat semua orang menangis.
Seorang anak berusia 11 tahun dibawa kakaknya dan berjalan 12 jam langsung ke pusat bencana melarikan diri.
Ketika gempa terjadi, seorang guru kelas 26 tahun pertama bergegas untuk membawa siswa tercengang dia dari kelas mereka di lantai tiga ke lantai dasar. Dia berhasil menarik sebagian besar murid-muridnya, tetapi bangunan runtuh saat dia mencoba menarik keluar beberapa hari lalu. Pada saat terakhir hidupnya, dia mencoba mengunakan tubuhnya untuk melindungi muridnya dari beton jatuh.
Banyak guru melakukan hal yang sama.
Bayi ini, setelah terkubur selama 24 jam, secara ajaib, diselamatkan unscratched. Dia berusia sekitar 3-4 bulan, dan ibunya berlutut, disematkan kepala dan tangannya di tanah untuk melindunginya dari beton jatuh, dan diperah dia. Ibunya tidak bisa keluar. Seorang pekerja penyelamat menemukan ponsel ibunya di bungkus nya. Ini memiliki pesan ditinggal oleh ibunya: "Anakku sayang, jika Anda bertahan hidup, ingatlah, Mama mencintai kamu selamanya ..."
The Heroes of Sichuan Earthquake
An earthquake of magnitude 8.0 struck Sichuan province of China at 2:28PM, May 12, 2008. The epicenter of the earthquake, Wenchuan, is about 90 miles from Chengdu. The earthquake released more energy than 500 atomic bombs, 30 times more than the Kobe earthquake in Japan in 1995. By May 19, there are more than 32,000 confirmed dead, more than 20,000 still missing, and more than 4.7 million houses collapsed or heavily damaged.
Cities close to the epicenter are flattened; whole mountains collapsed.
Millions of people lost their loved ones, their homes, their belongings. Yet there is no looting, no complaints, just people helping each other.
Within hours, people rushed to rescue. Blood donation lines run for 100 yards, and people waited hours to donate blood. Within 24 hours, all major blood banks ran out storage space.
The highway to the earthquake struck city Dujianyang (20 mile from Chengdu) was almost jammed one hour after the earthquake, not by people fleeing the aftershocks, but by volunteers, led by over 1,000 taxi drivers, came from Chengdu to rescue.
An owner of a big construction company 1,500 miles from the disaster area, just 2 hour 30 minutes after the earthquake, started transporting 60 construction machineries and led 120 volunteers to rescue. They arrived at the disaster area 24 hours later, almost the same time as the Army Engineering Corps.
Medical workers provided care under extreme conditions; they even delivered many new born babies on the parking lot.
The Chinese Prime Minister boarded on a plane 30 minutes after the earthquake and arrived in the disaster area in 2 hours. He has been the chief of the rescue operation since then, working almost around clock at the frontline with rescue workers.
1,1000 paratroopers started boarding airplanes 2 hours after the earthquake. Despite heavy rains, high winds and thick clouds, they jumped from over 20,000 foot high to remote mountain areas where they did not even know if there would be a place for them to land.
With roads buried by landslide and bad weather hammering airborne operations, a group of 600 soldiers and medical teams walked 21 hours straight on foot in the mountain area, carrying heavy relief supplies, risking landslides and falling rocks. They became the first group to arrive at the epicenter of the earthquake.
Soldiers and rescue workers are working round the clock to rescue people still buried by the earthquake. Unable to transport heavy machineries to the remote areas since roads are buried by landslides, they often have to use hands to move tons of concrete.
People are rushing to donate money. Many rich people donated in millions, but no one can match a homeless in Nanjing, 1000 miles from the disaster area. He saw the news and went to donate 5 Yuan in the morning. He said people in the disaster area were worse off than him because their lives were threatened. He came back in the afternoon, donated another 100 Yuan ($14). He explained that all he had were pennies and dimes, and he didn’t want to waste volunteer workers’ time to count them, so he went to the bank to change everything he had into one big bill. This is from a man who doesn’t have money to buy food for himself.
A 3 year old child was pulled out from rubble after being buried for 2 days. She was in critical condition and lost a leg, but survived. Her parents hold each other’s hands and shoulders face to face to make an arch to shield her from the falling building. Her parents did not make it out.
A 5 year old boy was rescued after being buried under rubbles for 24 hours. His left hand was broken, but he smiled and saluted to his rescuers. His smile made everybody cry.
An 11 year old boy carried his sister and walked 12 hours straight to flee the disaster center.
When the earthquake struck, a 26 year old first grade teacher rushed to carry her stunned students from their classroom on the third floor to the ground floor. She managed to pull out most of her students, but the building collapsed when she was trying to pull out the last few. At the last moment of her life, she was trying to use her body to shield the students from falling concrete.
Many teachers did the same thing.
This baby, after being buried over 24 hours, miraculously, was rescued unscratched. He is about 3-4 months old, and his mother kneeled down, pinned her head and hands on the ground to shield him from the falling concrete, and milked him. His mother did not make it out. A rescue worker found his mom’s cell phone in his wrapper. It had a text message left by his mother: “Dear child, if you survive, please remember, Mom loves you forever…”
Made Up (cerita yang dibuat-buat)

Cerita tentang pengorbanan seorang ibu kepada anaknya saat gempa Jepang beredar luas di facebook dan berbagai situs internasional.
Cerita ini "made up" alias dibuat-buat...
mari baca artikel berikut...
-intinya cerita ini dibuat sekedar untuk sensasi agar Jepang mendapat perhatian lebih dunia internasional-
foto tersebut diambil saat gempa di sichuan bukan saat gempa Jepang
Ada beberapa kejanggalan dari cerita yang beredar di di facebook tersebut:
1. anak yang difoto tidak mungkin berumur 3 bulan, umur sebenarnya dalam data gempa
sichuan adalah 3 tahun
2. tidak ditemukan berita tentang cerita ini baik google news maupun situs berita lainnya
berikut artikel asli berbahasa inggris yang penulis dapat dari alamat web:
http://www.reddit.com/r/skeptic/comments/ke3ds/mother_saving_child_in_japan_earthquake_story_is/
This story has been on rounds in facebook and blogs:
This is a true story of Mother’s Sacrifice during the Japan Earthquake. After the Earthquake had subsided, when the rescuers reached the ruins of a young woman’s house, they saw her dead body through the cracks. But her pose was somehow strange that she knelt on her knees like a person was worshiping; her body was leaning forward, and her two hands were supporting by an object. The collapsed house had crashed her back and her head.
With so many difficulties, the leader of the rescuer team put his hand through a narrow gap on the wall to reach the woman’s body. He was hoping that this woman could be still alive. However, the cold and stiff body told him that she had passed away for sure. He and the rest of the team left this house and were going to search the next collapsed building. For some reasons, the team leader was driven by a compelling force to go back to the ruin house of the dead woman. Again, he knelt down and used his had through the narrow cracks to search the little space under the dead body. Suddenly, he screamed with excitement,” A child! There is a child! “ The whole team worked together; carefully they removed the piles of ruined objects around the dead woman. There was a 3 months old little boy wrapped in a flowery blanket under his mother’s dead body. Obviously, the woman had made an ultimate sacrifice for saving her son. When her house was falling, she used her body to make a cover to protect her son. The little boy was still sleeping peacefully when the team leader picked him up. The medical doctor came quickly to exam the little boy. After he opened the blanket, he saw a cell phone inside the blanket. There was a text message on the screen. It said,” If you can survive, you must remember that I love you.” This cell phone was passing around from one hand to another. Every body that read the message wept. ” If you can survive, you must remember that I love you.” Such is the mother’s love for her child!!
There is a picture accompanying alongwith: http://i.imgur.com/hJleI.jpg
There are lots of reason this story looks fake. The most huge giveaway is, how can she type a message on her cellphone inside the remains. And if she had a cellphone why didn't she call for some assistance. How can a body become "stiff and cold". It should be limp, right? Also, the baby was still sleeping peacefully after an earthquake? WTF? If this was true, there was a very small chance of baby living, let alone "sleeping peacefully".
What do you guys at /r/skeptic think?
I'm pretty much certain it's made-up. Here's why:
-I can't find a similiar story on Google News using keyword searches. Not finding evidence for a claim doesn't always mean it didn't happen, but it means there's absolutely no reason to think it did.
-The phrase ” If you can survive, you must remember that I love you.” doesn't appear in any of the thousands of news sources Google News indexes.
-Using tineye, the image appears to be from an earthquake in SW China in 2008.
[–]jdac 1 point 23 days ago
Nice, I'll be downloading tineye presently.
[–]JosiahJohnson 1 point 23 days ago
Tineye is a web app, I thought...
[–]jdac 2 points 23 days ago
I'm referring to the Firefox plugin, sorry.
[–]JosiahJohnson 1 point 23 days ago
That makes a lot more sense.
[–]jdac 1 point 23 days ago
Yeah,I conflate the Web of Trust plugin with the application itself sometimes too. A bad cognitive habit.
[–]jdac 2 points 23 days ago
I found this story suspicious for different reasons than you. Mainly, in fact by seeming inconsistencies between the photo and the story. Maybe I'm wrong, but the child in the photo looks too big to be three months old, and the earth pit they're in doesn't look like the situation described in the text:
when the rescuers reached the ruins of a young woman’s house, they saw her dead body through the cracks.
What cracks exactly? This pair look like they've been buried. I don't think this is a rock-solid objection, but for better (skepticism) or worse, it raised an eyebrow with me.
In any event, our suspicions proved correct, as TaxandSpendDinosaur points out. And in his source, the image and description match.
Some interesting questions I'd like to see answered about this story is who put the text and image together, and why? Did they create the text, or take it from somewhere else? Given certain "red flags" in the text, this looks like it could have been adapted from a miracle-anecdote of the sort that one's vaguely protestant mother likes to forward to one's email. And if so, by whom and for what purpose? Pious fraud, a prank maybe?
Personally, it's at this point in the story of a fake that things get really interesting to me.
[–]5550674 2 points 22 days ago
The Picture is from 2008 Sichuan earthquake.
[–]fofalina 2 points 16 days ago
You will find the real story at the bottom of this page http://edikdolotina.blogspot.com/2008/06/heroes-of-sichuan-earthquake.html And yes,the photo is from the Sichuan earthquake 2008.
Why would someone do that? We,who live in Japan have been through hell since march 11th and it's just disturbing to even think that someone might make up a story based on other's tragedy.
[–]dumbdude 1 point 14 days ago
http://www.cnngo.com/explorations/none/heroes-wake-disaster-633758
[–]vicksvepolap 1 point 11 days ago*
I'm from Japan and when I looked at this I immediately thought this is made-up. At least this is not a picture from Japan for the following reasons:
1) firefighters' jacket - they don't look like Japanese. Japanese firefighters wear like this: http://chiiki.city.tottori.tottori.jp/toyomi-1/syouboudan/newpage22.html
2) red soil - soil in Japan (particularly the area affected by the earthquake) are more fertile, and it looks more like dark-brown or black.
3) why they are not rescuing!! it looks like the firefighters are doing archeological exploration!! we don't treat the deceased like this!!!
permalink
[–]Excentinel 0 points 6 days ago
Not only that, if it were Japan there would be one person with a shovel and they would be making more progress.
permalink
parent
[–]The_Giver 2 points 10 days ago*
GOT IT! Google translated story
The caption on the image is (translated from Google): August 31 morning, the fire brigade from the Li Huili County, Xinqiao Town, dig out the rubble remains of two people.
Also there's another image of a nearby area where they are pulling a cow/bull from a ditch.
permalink
[–]davidrynn 2 points 8 days ago
This is being passed around facebook. I don't want to be the downer to tell people it's fake. So, it did happen in China (fofalina post - even that is suspect though)?
permalink
[–]KayGBee -2 points 14 days ago
true or not its a powerful and interesting story of a mothers love for her child.
permalink
[–]80cent 3 points 14 days ago
Definitely loses all power when you realize it's a cheap story sold as truth.
permalink
parent
Kamis, 06 Oktober 2011
"Surat Terbuka" Mengenang Refri Agustian Widodo (Pilot Adam Air)
padang Ekpres Online Saptu 6 Januari
===============================
"Surat Terbuka" Mengenang Refri Agustian Widodo (Pilot Adam Air):
Sabtu, 06-Januari-2007, 04:52:53
oleh Zefrizal Nurdin, SH. MH
** Nak Ery, Tahun Ini Pak Etek Khatib di Lapangan Mahad Islami
Hilangnya pesawat Adam Air menghadirkan kedukaan bagi bangsa ini.
Begitupun bagi Sumbar. Salah seorang putra terbaiknya, Refri Agustian
Widodo, sang pilot, asal Batuhampa, Kabupaten Limapuluh Kota, sampai
kini belum juga ditemukan. Dalam kedukaan itu, redaksi Harian Pagi
Padang Ekspres kedatangan tamu, tadi malam. Tamu itu, Zefrizal Nurdin
SH, MH, dosen di Fakultas Hukum Unand. Beliau merupakan Pak Etek dari
Refri Agustian Widodo. Sebuah tulisannya berkaitan dengan Ery, sapaan
akrab Refri Agustian Widodo, serta kehidupannya diberikan untuk
pembaca. Tulisan itu kami muat utuh hari ini. (redaksi)
Aku dan Desaku
Sekitar sepuluh kilometer menjelang Payakumbuh dari arah Bukittinggi
dengan berbelok ke kiri sekitar 2 Km, anda akan menjumpai sebuah desa
tempat aku dan kerabatku tumbuh; Batuhampa. Orang tuaku juga lahir di
situ. Ayahku bungsu dari 4 bersaudara yang semuanya laki-laki. Si
Sulung bernama Pak Tapa, punya 4 anak, satu di antaranya laki-laki
bernama Darakutni. Semua anaknya, kini sudah berpulang dalam usia
relatif muda. Pak Odangku kedua. Punya 3 anak, 2 di antaranya
laki-laki yang juga berpulang dalam usia belum begitu tua, satu
perempuan; kak Ima yang kini masih hidup. Pak Odang ketiga hanya punya
satu anak laki-laki yang juga telah tiada dalam usia lebih dari 60-an.
Kini dari garis keturunan laki-laki pada generasi kedua tinggal aku si
bungsu dan abangku tertua yang mengapit 4 saudara perempuan kami.
Pilot
Kami selalu memanggilnya "Ery", tapi uwanku Darakutni selaku ayah,
selalu memanggilnya Hery. Rasanya Wan Tani, sapaan akrab uwanku
Darakutni, pernah cerita, nama Refri Agustian Widodo yang "ujung"nya
berbau "kejawaan" lantaran nama ini diberikan atasannya di jajaran
angkatan laut tempat ia bekerja, bukan sekadar nama taktis agar bisa
cepat berbaur dalam dunia militer.
Yang masih terukir jelas dalam memoriku adalah penuturan kak Nimar
(Ibu Ery), bahwa mereka hampir mati bersama, andai saat itu si
pembidik tak lagi dibisiki Allah belas kasih. Saat itu ketika
berlangsung pembersihan "tentara luar" yang dianggap memberontak
terhadap tentara pusat. Uwanku ditangkap dan segera dieksekusi mati di
bibir Ngarai Sianok. Beruntung, kabar tersebut sampai ke kakakku
Nimar. Dengan perut besar karena Ery telah 8 bulan dalam kandungan,
dia mencoba memagari Uwan dengan tetap bergelantungan pada Uwan dari
arah bidikan. Prinsip kakak "jika uwan mati, maka harus mati bertiga".
Uwan dan Jakarta
Kehamilan kakak dijadikan indikasi ataupun alibi bahwa Wan tidak
berada "di luar", dan Wan jadi selamat. Kata Uwan padaku suatu malam,
jika takut dengan peluru, larilah ke gagang pistol. Wan lari ke
gagangnya: Jakarta. Sejak itulah Wan aktif di angkatan laut.
Disanalah, tepatnya di Tebet Timur, Ery kemudian berkembang disertai
seorang adik: Semy Jony Putra yang juga berkiprah mengikuti jejak Uwan
di angkatan laut.
Aku dan Tebet Timur
Awal 1974 aku melanjutkan studi ke Pendidikan Hakim Islam Negeri,
salah satu SLTA di Yogya. Dalam usia 17 tahun itu, aku berangkat
sendirian dengan dititipkan Mak pada seorang penumpang: Marnizen (aku
tak tahu kini ia dimana) dan Wan menanti di Tanjung Priuk. Selama
studi di Yogya sampai menamatkan Fakultas Hukum UGM tahun 1982,
keluarga terdekatku ada di Tebet Timur itu dan ke sanalah aku pergi
setiap libur sekolah.
Aku makin hafal jalan jalan di Jakarta berkat Ery dan Wan yang sering
membawaku berkeliling.
Suatu kali mobil yang dikemudikan Ery ditabrak dari belakang. Kulihat
Ery betapa tenang mengatasi hal ini, tanpa tergurat sepercik emosi
pun. Pada kali yang lain mesin Sanyo penyedot air sumur yang diletak
menggantung di tengah sumur berkedalaman 12 meter, tiba-tiba ngadat,
kedua anakku ini (Ery dan adiknya) berebut untuk turun memperbaikinya
hanya dengan diturunkan pada seutas tali oleh Wan. Di tepi sumur
badanku menggigil menyaksikan aksi bapak dan anak. Ini benar-benar
latihan laki-laki.
Aku tak heran jika Ery berkeinginan jadi pilot dan menurutku itu cocok
untuknya. Namun ketika cita-citanya terwujud, beberapa kali pula
perasaan cemas akan kejatuhannya menyergapku, dan rasa cemas itu
selalu kutepis dengan alasan bahwa akulah yang Phobia ketinggian.
Di sisi lain andai aku naik pesawat dan tahu Ery adalah pilotnya, aku
yakin rasa cemas itu akan menguap, bukan lantaran ia kerabatku, tapi
lantaran aku tahu kemampuan dan ketenangannya dalam menghadapi situasi
apapun.
Aku, Ery dan Awan
Tiap Lebaran Fitri ia pulang ke kampung bersama istrinya Zulfia (anak
kak Ima) yang juga merupakan mantan mahasiswaku di Fakultas Hukum
Unand, dan kini jadi notaris di kota mereka menetap; Sidoarjo.
Ery sering kali bertanya menjelang Fitri itu tentang lokasi aku
menjadi khatib Ied, sebab ia akan sholat di sana. Beberapa kali aku
menatapnya dari mimbar. la sepertinya bangga padaku, seperti aku juga
bangga padanya. Atau mungkin ini suatu kebanggaan nostalgia. Seperti
halnya ia datang, ia pun kembali ke Surabaya dengan menembus awan.
Awan, angin, biru laut, biru gunung, biru langit adalah dunianya.
Saat menuju Menado, laporan anakku pada Bandara Hasanuddin, ia
terjebak gumpalan awan dan angin yang bertiup dari samping dalam
kecepatan amat tinggi. la tak bisa melihat birunya laut, gunung dan
langit. la melayang entah ke mana. Pak etek tidak memiliki firasat
apapun sebelumnya, kecuali sebuah mimpi dua hari sebelum kau jatuh
bahwa aku kematian diriku sendiri. Kemudian kembali hidup dan
terdampar di puncak sebuah bukit kecil yang bila menatap ke depan dan
ke samping kanan terlihat sebuah sungai besar berliku yang mengalir
dekat ke muara sebelah barat entah di pulau mana.
Ananda Ery! Jika kau masih mungkin kami jangkau dan amat sulit
terdeteksi, pesankan pada Illahi agar Pak Etek bermimpi tentang tempat
keberadaanmu. Masih besar harapan Pak Etek kau mampu mengatasi
ganasnya rimba dalam ataupun dalamnya samudera. Kau adalah seorang
putra pelaut.
Tak perlu kau tanya, tahun besok Pak Etek khatib di lapangan Mahad
Islami Payakumbuh. Datang dan duduklah di baris depan seperti biasa
agar Pak Etek bisa menatapmu dengan lepas. Tapi jika kau memang telah
pergi bersama-Nya, dengan rasa tersekat Pak Etek ucapkan selamat
jalan, dan temuilah dulu ayahmu, nak.
Kelak kita semua semoga berkumpul lagi di tempat yang jauh lebih hebat
dibanding Tebet Timur.
Pak Etekmu Zef
Pembaca yang terhormat, saya juga mohon doa dari anda semua untuk
keselamatan anak saya Ery. Terima kasih. (***)
===============================
"Surat Terbuka" Mengenang Refri Agustian Widodo (Pilot Adam Air):
Sabtu, 06-Januari-2007, 04:52:53
oleh Zefrizal Nurdin, SH. MH
** Nak Ery, Tahun Ini Pak Etek Khatib di Lapangan Mahad Islami
Hilangnya pesawat Adam Air menghadirkan kedukaan bagi bangsa ini.
Begitupun bagi Sumbar. Salah seorang putra terbaiknya, Refri Agustian
Widodo, sang pilot, asal Batuhampa, Kabupaten Limapuluh Kota, sampai
kini belum juga ditemukan. Dalam kedukaan itu, redaksi Harian Pagi
Padang Ekspres kedatangan tamu, tadi malam. Tamu itu, Zefrizal Nurdin
SH, MH, dosen di Fakultas Hukum Unand. Beliau merupakan Pak Etek dari
Refri Agustian Widodo. Sebuah tulisannya berkaitan dengan Ery, sapaan
akrab Refri Agustian Widodo, serta kehidupannya diberikan untuk
pembaca. Tulisan itu kami muat utuh hari ini. (redaksi)
Aku dan Desaku
Sekitar sepuluh kilometer menjelang Payakumbuh dari arah Bukittinggi
dengan berbelok ke kiri sekitar 2 Km, anda akan menjumpai sebuah desa
tempat aku dan kerabatku tumbuh; Batuhampa. Orang tuaku juga lahir di
situ. Ayahku bungsu dari 4 bersaudara yang semuanya laki-laki. Si
Sulung bernama Pak Tapa, punya 4 anak, satu di antaranya laki-laki
bernama Darakutni. Semua anaknya, kini sudah berpulang dalam usia
relatif muda. Pak Odangku kedua. Punya 3 anak, 2 di antaranya
laki-laki yang juga berpulang dalam usia belum begitu tua, satu
perempuan; kak Ima yang kini masih hidup. Pak Odang ketiga hanya punya
satu anak laki-laki yang juga telah tiada dalam usia lebih dari 60-an.
Kini dari garis keturunan laki-laki pada generasi kedua tinggal aku si
bungsu dan abangku tertua yang mengapit 4 saudara perempuan kami.
Pilot
Kami selalu memanggilnya "Ery", tapi uwanku Darakutni selaku ayah,
selalu memanggilnya Hery. Rasanya Wan Tani, sapaan akrab uwanku
Darakutni, pernah cerita, nama Refri Agustian Widodo yang "ujung"nya
berbau "kejawaan" lantaran nama ini diberikan atasannya di jajaran
angkatan laut tempat ia bekerja, bukan sekadar nama taktis agar bisa
cepat berbaur dalam dunia militer.
Yang masih terukir jelas dalam memoriku adalah penuturan kak Nimar
(Ibu Ery), bahwa mereka hampir mati bersama, andai saat itu si
pembidik tak lagi dibisiki Allah belas kasih. Saat itu ketika
berlangsung pembersihan "tentara luar" yang dianggap memberontak
terhadap tentara pusat. Uwanku ditangkap dan segera dieksekusi mati di
bibir Ngarai Sianok. Beruntung, kabar tersebut sampai ke kakakku
Nimar. Dengan perut besar karena Ery telah 8 bulan dalam kandungan,
dia mencoba memagari Uwan dengan tetap bergelantungan pada Uwan dari
arah bidikan. Prinsip kakak "jika uwan mati, maka harus mati bertiga".
Uwan dan Jakarta
Kehamilan kakak dijadikan indikasi ataupun alibi bahwa Wan tidak
berada "di luar", dan Wan jadi selamat. Kata Uwan padaku suatu malam,
jika takut dengan peluru, larilah ke gagang pistol. Wan lari ke
gagangnya: Jakarta. Sejak itulah Wan aktif di angkatan laut.
Disanalah, tepatnya di Tebet Timur, Ery kemudian berkembang disertai
seorang adik: Semy Jony Putra yang juga berkiprah mengikuti jejak Uwan
di angkatan laut.
Aku dan Tebet Timur
Awal 1974 aku melanjutkan studi ke Pendidikan Hakim Islam Negeri,
salah satu SLTA di Yogya. Dalam usia 17 tahun itu, aku berangkat
sendirian dengan dititipkan Mak pada seorang penumpang: Marnizen (aku
tak tahu kini ia dimana) dan Wan menanti di Tanjung Priuk. Selama
studi di Yogya sampai menamatkan Fakultas Hukum UGM tahun 1982,
keluarga terdekatku ada di Tebet Timur itu dan ke sanalah aku pergi
setiap libur sekolah.
Aku makin hafal jalan jalan di Jakarta berkat Ery dan Wan yang sering
membawaku berkeliling.
Suatu kali mobil yang dikemudikan Ery ditabrak dari belakang. Kulihat
Ery betapa tenang mengatasi hal ini, tanpa tergurat sepercik emosi
pun. Pada kali yang lain mesin Sanyo penyedot air sumur yang diletak
menggantung di tengah sumur berkedalaman 12 meter, tiba-tiba ngadat,
kedua anakku ini (Ery dan adiknya) berebut untuk turun memperbaikinya
hanya dengan diturunkan pada seutas tali oleh Wan. Di tepi sumur
badanku menggigil menyaksikan aksi bapak dan anak. Ini benar-benar
latihan laki-laki.
Aku tak heran jika Ery berkeinginan jadi pilot dan menurutku itu cocok
untuknya. Namun ketika cita-citanya terwujud, beberapa kali pula
perasaan cemas akan kejatuhannya menyergapku, dan rasa cemas itu
selalu kutepis dengan alasan bahwa akulah yang Phobia ketinggian.
Di sisi lain andai aku naik pesawat dan tahu Ery adalah pilotnya, aku
yakin rasa cemas itu akan menguap, bukan lantaran ia kerabatku, tapi
lantaran aku tahu kemampuan dan ketenangannya dalam menghadapi situasi
apapun.
Aku, Ery dan Awan
Tiap Lebaran Fitri ia pulang ke kampung bersama istrinya Zulfia (anak
kak Ima) yang juga merupakan mantan mahasiswaku di Fakultas Hukum
Unand, dan kini jadi notaris di kota mereka menetap; Sidoarjo.
Ery sering kali bertanya menjelang Fitri itu tentang lokasi aku
menjadi khatib Ied, sebab ia akan sholat di sana. Beberapa kali aku
menatapnya dari mimbar. la sepertinya bangga padaku, seperti aku juga
bangga padanya. Atau mungkin ini suatu kebanggaan nostalgia. Seperti
halnya ia datang, ia pun kembali ke Surabaya dengan menembus awan.
Awan, angin, biru laut, biru gunung, biru langit adalah dunianya.
Saat menuju Menado, laporan anakku pada Bandara Hasanuddin, ia
terjebak gumpalan awan dan angin yang bertiup dari samping dalam
kecepatan amat tinggi. la tak bisa melihat birunya laut, gunung dan
langit. la melayang entah ke mana. Pak etek tidak memiliki firasat
apapun sebelumnya, kecuali sebuah mimpi dua hari sebelum kau jatuh
bahwa aku kematian diriku sendiri. Kemudian kembali hidup dan
terdampar di puncak sebuah bukit kecil yang bila menatap ke depan dan
ke samping kanan terlihat sebuah sungai besar berliku yang mengalir
dekat ke muara sebelah barat entah di pulau mana.
Ananda Ery! Jika kau masih mungkin kami jangkau dan amat sulit
terdeteksi, pesankan pada Illahi agar Pak Etek bermimpi tentang tempat
keberadaanmu. Masih besar harapan Pak Etek kau mampu mengatasi
ganasnya rimba dalam ataupun dalamnya samudera. Kau adalah seorang
putra pelaut.
Tak perlu kau tanya, tahun besok Pak Etek khatib di lapangan Mahad
Islami Payakumbuh. Datang dan duduklah di baris depan seperti biasa
agar Pak Etek bisa menatapmu dengan lepas. Tapi jika kau memang telah
pergi bersama-Nya, dengan rasa tersekat Pak Etek ucapkan selamat
jalan, dan temuilah dulu ayahmu, nak.
Kelak kita semua semoga berkumpul lagi di tempat yang jauh lebih hebat
dibanding Tebet Timur.
Pak Etekmu Zef
Pembaca yang terhormat, saya juga mohon doa dari anda semua untuk
keselamatan anak saya Ery. Terima kasih. (***)
catatan dr siswa sma 3 padang
silahkan langsung ke alamatnya
http://realitasekolah.blogspot.com/2009/06/profil-sman-3-padang.html
http://realitasekolah.blogspot.com/2009/06/profil-sman-3-padang.html
Langganan:
Postingan (Atom)